Sepucuk Surat

Zia Faradina
Chapter #6

Desa Terpencil

Perjalanan panjang ke desa terpencil membutuhkan waktu kurang lebih empat jam. Tubuh kecil Arumi terombang-ambing di atas truk saat melewati jalanan terjal dan bebatuan. Perutnya mual, ingin memuntahkan semua yang ada di dalamnya. Berkali-kali gadis itu membekap mulutnya.

Gayatri masih belum sadar. Terbaring lemah di samping Arumi. Darah segar di kepalanya sudah mengering. Linggar sudah membebatnya dengan kain untuk menghentikan pendarahan selama di perjalanan.

"Ibu, banguuun! Arumi takut."

Tiba-tiba truk yang dikemudikan Linggar miring ke kiri. Tubuh Arumi bergeser jauh. Tangannya memeluk perempuan yang terbaring lemah di sampingnya. Kemudian posisi normal lagi. Lalu mendadak berganti miring ke kanan.

Degup jantung bocah berusia tujuh tahun itu berdebar-debar. Tangannya meraih pegangan yang ada di sekitarnya, agar tidak terbentur. Kali ini Linggar ugal-ugalan mengemudikan truk. Dia terburu-buru ingin cepat sampai dan menuntaskan tugas terakhirnya, agar pikirannya tenang. Bisa menjalani kehidupan normal seperti dulu.

Semuanya telah usai. Kisah pelik Karim di masa lalu yang berujung dendam, terbayarkan. Meskipun menyisakan luka baru di hati dua perempuan yang selamanya akan diingat.

Memulai kehidupan baru di tempat asing tidak mudah. Arumi harus meninggalkan rumah masa kecilnya yang penuh dengan segala kenangan. Tempat di mana dia dibesarkan. Menghabiskan waktu bersama kedua orang tua yang dicintai.

Untuk kepindahan ini, Linggar hanya menyiapkan satu tas kecil berisi pakaian Arumi dan Gayatri. Sisanya dibiarkan di sana. Sebentar lagi rumah itu akan diratakan dengan tanah diganti dengan bangunan baru. Begitulah cara Karim melenyapkan orang yang dibencinya berikut dengan kenangannya.

Foto-foto kebersamaan Danur dengan Arumi sengaja dimusnahkan. Sebelum mereka berdua diungsikan ke desa terpencil. Arumi tidak diizinkan menyimpan kenangan Danur. Bahkan untuk obat rindu saja dilarang.

"Tolong, Om. Aku ingin menyimpan foto ayah." Gadis bertubuh kecil itu merengek, lalu bersimpuh di kaki Karim. Memohon-mohon untuk dikabulkan permintaanya. Isak tangis terus dirintihkan, berharap lelaki itu iba kepada nya.

"Ayahmu sudah mati, tak usah diingat." Karim merampas foto Danur dari Arumi dengan kasar.

"Jangan, Om. Berikan foto itu! Kumohon." Gadis itu mengejar Karim, masih berusaha memohon untuk mendapatkan kenangan terakhirnya.

Foto itu sangat berarti baginya. Satu-satunya kenangan terakhir yang dia miliki. Namun, Karim tidak menghentikan langkahnya tetap keras hati. Teriakan Arumi tidak digubris. Malah melenggang pergi ke luar rumah.

Tumpukan foto Danur dikumpulkan jadi satu. Lelaki itu menyiram bensin di atasnya dan menyalakan pemantik api untuk membakar semua barang kenangan Danur.

Lihat selengkapnya