Sepucuk Surat

Zia Faradina
Chapter #7

Penyesalan

Mobil pick up berwarna putih itu melaju dengan kencang membawa Arumi dan Gayatri menuju desa terpencil. Lokasinya cukup jauh dari jangkauan. Daerah yang dituju ini termasuk wilayah yang belum terdaftar dalam peta Bengkulu Utara. Hanya sedikit penduduk yang menetap di sana karena kehidupan serba terbatas.

Setelah perjalanan menyusuri sungai yang arusnya sangat deras. Lanjut perjalanan darat dengan medan yang tak kalah ekstrim. Jalanan bebatuan penuh krikil harus dilalui.

Arumi memegangi perutnya yang mulai berontak butuh asupan makanan. Terakhir kali, dia hanya memakan sisa roti dari pemuda yang mengantarnya menyeberangi sungai. Sekaligus orang yang merampok uangnya dan tidak menyisakan sedikitpun.

Tubuh kecilnya merintih, tidak bisa lagi menahan perih. Perjalanan ini menguras tenaga. Butuh waktu berjam-jam untuk sampai ke sana. Dia belum pernah bepergian sejauh ini.

Dipegangnya kotak usang satu-satunya peninggalan Danur yang masih disimpannya. Arumi berhasil membawa kabur barang itu secara diam-diam. Saat Karim pergi menemui ibunya di kamar.

Gadis yang wajahnya kuyu itu sekarang gamang, hanya bisa melihat sepucuk surat tulisan tangan ayahnya. Tanpa dia tahu apa isi surat itu. Kesempatannya untuk bersekolah kandas. Seragam, buku dan tas sekolah yang dibelikan ayahnya tinggal kenangan.

Dengan kondisi yang cukup memprihatinkan. Impian Arumi untuk bersekolah semakin jauh. Gadis itu hanya berharap, semoga ada keajaiban. Entah kapan itu terjadi.

Dia yakin suatu saat bisa membaca dan menulis dengan lancar. Mengetahui apa yang dituliskan Danur di sepucuk surat itu.

****

"Banguuun ... Cepat turun!"

Arumi tercekat mendengar teriakan kasar pengemudi pick up. Dengan seenaknya menurunkan tubuh ibunya tanpa berhati-hati. Kepala Gayatri terbentur cukup keras, terkena pinggiran belakang mobil. Arumi ikut meradang, tetapi tidak banyak yang diperbuatnya.

Baru saja Arumi melangkah turun dari pick up, pengemudi truk itu menyeret tangannya dengan kasar. "Mana bayaranku?" Mata Arumi melebar. Tubuhnya menegang. Apa yang ditakutkan terjadi.

"M-maaf, aku tak punya uang, Bang." ujarnya lirih sembari menunduk.

"Kamu pikir semua ini gratis?" Pengemudi itu menoyor kepala Arumi. Lalu mengangkat tubuh kecilnya dan membawanya masuk mobil.

"Ampun, Bang. Jangan sakiti aku," rengeknya.

"Diam, jangan menangis. Akan kujual kamu ke kota, sebagai ganti ongkos jasaku." Mendengar jawaban pengemudi, air muka Arumi panik. Dibukanya pintu mobil dengan paksa. Keringat mengucur dari pelipisnya. Pengemudi itu terpingkal-pingkal melihat tingkah Arumi.

Lihat selengkapnya