Sepucuk Surat

Zia Faradina
Chapter #8

Kegilaan Karim

Sesosok lelaki misterius muncul dari balik semak. Sorot matanya tajam menatap ke arah Arumi. Gadis yang sedang menatap kerlap-kerlip gemintang di angkasa terkejut dengan kedatangannya.

Refleks berdiri di dekat ibunya, berjaga-jaga kalau ada sesuatu yang bahaya. Perjalanan panjang ke desa terpencil mengajarkan Arumi banyak hal untuk tidak mudah percaya begitu saja kepada orang lain.

"Aku datang ke sini untuk menyembuhkan luka ibumu," jawab laki-laki itu datar. Seolah tahu kekhawatiran yang dirasakan gadis itu.

Wajah Arumi yang tadinya menegang berangsur normal. Dia teringgat ucapan Linggar, akan datang seseorang yang menyembuhkan luka ibunya. Dibiarkan laki-laki yang membawa bungkusan kain berwarna hitam di pundaknya, merawat ibunya.

Dengan cekatan tangan penuh kerut itu membuka kain yang membebat kepala Gayatri. Membersihkan dengan hati-hati darah yang sudah mengering di tubuhnya. Kemudian mengambil racikan dedaunan dari dalam bungkusan hitam.

Gayatri mengerang kesakitan, tubuhnya menggeliat menahan perih saat laki-laki itu membalurkan ramuan di sekujur tubuhnya. Arumi yang melihatnya tidak tega. Kedua tangannya ditutupkan ke wajah mungilnya.

"Sebentar lagi ibumu akan membaik," tegas laki-laki misterius menenangkan. Ada kelegaan di raut wajah Arumi mendengar ibu yang sangat dicintai segera sembuh. Dia tidak lagi merasa sendirian. Ada Gayatri yang menemani.

Sebelum kedatangan sosok lelaki itu, Arumi sangat ketakutan dengan suasana mencekam di desa ini. Tak satu pun orang yang dia temui lewat di depan rumah. Listrik tidak tersedia, hanya ada obor sebagai penerang.

"Apakah desa ini tidak berpenghuni? Mengapa sepi sekali, Pak?" Tidak ada jawaban dari lelaki itu. Dia langsung pergi setelah urusannya selesai. Melihat bungkusan hitam yang tertinggal di kursi. Gadis itu berlari mengejarnya.

"Tunggu, Pak, barang ini ...." Lelaki berjanggut putih itu menoleh sekilas dan berucap, "Untuk kamu dan ibumu," jawabnya singkat lalu melesat pergi.

Arumi tidak berani membuka bungkusan yang ada di tangannya. Meskipun tahu, isi di dalamnya adalah makanan. Aroma lezatnya menguar menusuk hidung, membuat perut gadis itu keroncongan.

"Aku menunggumu, Bu. Kita akan makan bersama." Digenggamnya jemari Gayatri erat. Gadis berambut panjang sebahu itu setia menunggu ibunya membuka mata sembari mengingat kenangannya bersama Danur.

"Ayah, apa kabarmu di atas sana? Aku rindu. Apa bisa aku melanjutkan hidup tanpamu?" Kembali butiran bening itu mengalir dari sudut mata gadis yang wajahnya mirip Danur. Kepergian ayahnya yang tiba-tiba masih belum bisa dilupakan.

"Ibu ...." Arumi tak percaya Gayatri akhirnya tersadar. Mata bulat itu tak lagi redup. Saat ingin mendekat, ada ketakutan di wajahnya.

"S-iapa kamu?"

Lihat selengkapnya