Sepucuk Surat

Zia Faradina
Chapter #9

Pilihan yang Sulit

"Kamu terlambat pulang lagi, Mas." Perempuan muda itu mendengus kesal. Sudah berkali-kali dirinya harus menunggu lama menanti kepulangan sang suami. Bolak-balik mengintip di jendela dengan raut muka cemas.


"Sudah kukatakan, jangan menungguku. Aku ada urusan penting. Lebih baik kamu tidur," sergah Hadi jengkel.


Dia melepas jasnya. Lalu duduk mengecek pesan yang masuk dari ponselnya. Membuat Aini makin kesal, selalu kalah dengan smartphone yang dipegang suaminya. Antara Hadi dan Aini memang tidak berjarak, duduk mereka berdekatan. Hati keduanya yang jauh. Bagai bumi dan langit.


"Sampai kapan kamu begini, Mas? Ingat, kamu punya anak yang butuh kasih sayangmu." Perempuan itu terus mencerca dengan pertanyaan, seolah meluapkan kekesalan yang ada di pikirannya. Sementara Hadi, mengabaikannya sibuk membalas pesan. Sebenarnya Aini sudah capek harus membahas masalah ini. Dirinya hanya butuh perhatian hadi. Bukan hanya uang dan kemewahan saja.


"Sudah, Aini. Aku tak ingin berdebat denganmu. Siapkan air hangat untuk mandi!" Lelaki berkacamata itu memutus pembicaraan istrinya. Memilih berbaring di kursi panjang, mendengarkan musik untuk mencari hiburan pengobat lelah.


Dengan kesal Aini menyalakan kompor untuk memanaskan air. Lalu kembali menghampiri suaminya yang asyik mendendangkan lagu. Headset yang terpasang di telinga suaminya ditarik.


"Apa kamu tak bosan, Mas. Mengurusi Karim yang gila itu? Tinggalkan dia. Cari pekerjaan yang lain." Mendengar jawaban Aini, Hadi langsung bereaksi.


"Kamu itu tak tahu diuntung. Sudah diberi fasilitas mewah malah menuntut lebih. Banyak perempuan di luaran sana yang menuntut mati-matian suaminya untuk memiliki kehidupan kelas atas. Kamu bisa belanja sesukamu, pergi ke mana pun yang kau mau. Sudah di posisi ini, malah mengeluh dan menuntutku." Aini mengerucutkan bibir, air mukanya tampak kesal.


"Aku tak butuh fasilitas ini. Yang kubutuhkan perhatianmu, Mas. Membesarkan anak bukan hanya tanggung jawabku. Dia butuh figur ayah. Tolong mengertilah! Aku tidak banyak menuntut. Sediakan waktu untuk keluarga kecil kita." Air mata Aini tak bisa dibendung. Luapan emosinya yang tertahan tertumpahkan.


"Tak butuh katamu? Apa sekolah Omar tak butuh dana besar? Kalau tidak mau fasilitas yang kuberikan. Pindahkan Omar ke sekolah negeri saja. Untuk bepergian jangan lagi suruh supir mengantarmu. Kamu naik angkot. Satu lagi, skincare mahalmu buang ke tempat sampah. Pake yang alami, air bekas cucian beras.”

Kali ini Hadi marah besar. Dia merasa kerja kerasnya tidak dihargai istrinya. Berusaha memberikan yang terbaik, malah dicaci maki.

Semua ada konsekuensinya, suami sibuk bekerja tidak punya banyak waktu untuk keluarga tetapi semua kebutuhan tercukupi.


“Kalau kamu ingin aku berhenti, maaf tidak bisa kupenuhi. Hanya Karim yang bisa memberiku fasilitas semewah ini. Mempercayakan mengelola bisnisnya. Dia itu sahabatku sejak kecil. Tolong pahami aku."


"Sekarang kamu pilih, aku atau Karim? Kalau Mas Hadi pilih Karim. Aku pergi membawa Omar."


"Apa-apaan kamu ini? Jangan menyulut kemarahanku. Sekali kukatakan kalimat talak, menyesal dirimu." Hadi meninggalkan Aini yang masih terisak sendirian di ruang tamu. Dalam situasi sama-sama emosi, laki-laki itu memilih menghindar. Perempuan itu makhluk perasa. Sekalinya terucap kalimat kasar, selamanya akan diingat.


"Mas, jawab!" Hadi melenggang masuk ke kamar mandi tak menggubris pertanyaan Aini.


Sayangnya Hadi kepada Aini dan anak tunggalnya sangat besar. Dia tulus mencintai keduanya. Untuk semua fasilitas ini, ada harga mahal yang dibayarnya, tak bisa menghabiskan waktu untuk mereka. Suasana hati Karim yang cepat berubah, membuatnya harus menghandle banyak pekerjaan di kantor. Belum menghadapi emosi Karim yang meledak-ledak. Hadi berusaha meredam, agar sahabatnya tidak sering melukai diri sendiri. Tubuh sesempurna Karim, banyak bekas luka. Ada yang membentuk keloid dan luka bakar. Luka hati yang diderita sahabatnya sangat dalam.

Lihat selengkapnya