Sepucuk Surat

Zia Faradina
Chapter #11

Pasungan Gayatri

Arumi terus melangkah menuju lahan karet bersama dengan warga lainnya bekerja mengais rezeki untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mau mengandalkan siapa, jika tidak bergerak. Ibunya sakit, sepanjang hari hanya melamun tatapannya kosong. Kebun karet yang luasnya berhektar-hektar milik ayahnya sudah dirampas paksa oleh lelaki berpakaian parlente yang datang ke rumahnya.

Sekarang gadis itu harus berjuang dari nol menjadi petani karet. Bergabung dengan yang lainnya. Lokasi kebun karet yang dituju cukup jauh, berada di luar desa Air Kuros. Membutuhkan waktu satu jam untuk sampai. Bersama yang lainnya melewati perjalanan panjang.

Ada yang memboyong satu keluarga untuk diajak bekerja. Alasannya, karena di rumah sendirian tidak ada orang. Anak-anak bebas berlarian di kebun karet, bayi yang sudah disusui ditidurkan. Lalu para istri bisa membantu suaminya bekerja. 

Mereka semua sedang berjuang untuk mengubah nasib. Jauh-jauh merantau ke Bengkulu, mencari kehidupan yang lebih baik. Di Jawa sudah tidak bersahabat, mereka tak mampu menaklukkan ganasnya persaingan di kota besar. Hanya senyum anak-anaknya yang membuat mereka kuat. Pekerjaan dengan mengandalkan otot dipilih sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. 

Berangkat menggunakan baju biasa, tak lupa menenteng rantang untuk bekal makan siang. Di sana tidak ada penjual makanan, harus membawa sendiri dari rumah. Untuk peralatan menyadap seperti, mangkok sadap plastik, bak pembeku karet, ember lateks dan yang lainnya ditinggal di sana.

 Meskipun ini baru pertama kalinya Arumi bekerja. Tak membuat gadis kecil itu canggung bergabung bersama pekerja lainnya. Hampir seminggu dia berdiam diri di rumah tak ada aktivitas selain merawat ibunya. Memenuhi kebutuhan makan sehari-hari menggandalkan hasil ubi kayu di belakang lahan rumah dan tanaman yang tumbuh subur di sekitar pekarangannya. 

Beruntung ada Pak Salman, tetangga barunya. Setelah mengetahui kondisi Ibu Arumi yang sakit dan tidak bisa mencari nafkah. Lelaki pindahan dari Jawa itu mengajak Arumi untuk membantunya di kebun karet. Dan pagi ini adalah hari pertama dia mulai bekerja.

 Jalanan yang basah akibat hujan kemarin, membuat kaki gadis kecil berat untuk melangkah. Sandal jepitnya seperti ‘tertelan’ tanah liat. Gadis itu harus melepas sandalnya dan berjalan tanpa alas kaki. Beda dengan pak Salman dan beberapa temannya yang menggunakan sepatu boot. Mereka sudah mempersiapkan semuanya termasuk saat cuaca ekstrim.

 “Kamu baik-baik saja, Arumi?” Pak Salman yang melihat Arumi kepayahan sedikit khawatir. Kondisi jalan di desa Air Kuros sangat parah jika hujan melanda. Kendaraan bermotor saja sulit untuk melintas. Roda bannya harus dilapisi rantai agar bisa berjalan. 

 “Tenang saja, Pak. Saya baik-baik saja,” jawab Arumi dengan senyum ramah. Meskipun terkendala dengan jalanan yang dilalui. Gadis itu pandai menyembunyikan perasaannya. Tidak disia-siakannya peluang dari pak Salman. Kalau dirinya mengeluh berat, bisa-bisa besok tidak diajak lagi bekerja.

 Peluh keringat membasahi tubuh Arumi. Separuh perjalanan sudah dilewati. Dia harus berjuang untuk melanjutkan sisa perjalanan lagi. Memasuki desa Kenanding, Arumi berhenti di depan sekolah. Melihat anak-anak berpakaian seragam dan berlarian masuk dengan riang gembira. 

Seharusnya tahun ini dia bersekolah seperti mereka. Memakai seragam, tas dan sepatu baru yang dibelikan Danur–ayahnya. Namun, harapan itu kandas. Cita-cita ayahnya menjadikan Arumi seorang sarjana hanya impian.

 “Ayo, cepat kejar aku!” teriak Bocah laki-laki yang baru saja keluar dari kelas. Seorang kawan di belakangnya berlari mengejar. Arumi hanya bisa menatap dari kejauhan dengan haru, sampai hari ini dia belum bisa merasakan bangku sekolah. 

Wajah-wajah tanpa beban terpancar dari raut muka mereka. Bebas bermain dan bersekolah tanpa ada tuntutan untuk bekerja. Memikirkan besok makan apa saja, tak mungkin ada di pikiran mereka.

Lihat selengkapnya