Sepucuk Surat

Zia Faradina
Chapter #14

Pembalasan Omar

Arumi tidak gentar saat lelaki berperawakan tinggi itu mendatanginya. Dia sudah menduga ini akan terjadi. Dengan angkuhnya lelaki yang memakai kemeja biru dengan celana jeans itu berjalan mendekat.

Sorot matanya tajam, seolah ingin melumat habis tubuhnya. Kedua tangannya mengepal bersiap memberi pelajaran. Pemuda itu semakin geram, belum pernah ada perempuan yang seberani ini. Berteriak keras dan mengumpat di hadapannya.

Arumi tak kalah sengit. Diambilnya ikat rambut di saku celananya. Lalu menguncir rambutnya ke atas. Meskipun secara tinggi bukan lawan yang ideal. Tidak membuat gadis itu mundur. Dengan berkacak pinggang, Arumi bersiap melawannya.

Kini jarak mereka sangat dekat. Gadis berkulit putih itu mendongak menatap Omar. Mereka saling berpandangan. Aura kebencian menguar. Sepersekian detik mereka terdiam hingga akhirnya .

"Minggir kamu!" Arumi mendorong tubuh Omar yang gagah dengan kasar lalu menghampiri lelaki paruh baya yang sedang terduduk lemas.

“Berani kamu, ya. Dasar gadis kolot. Jijik aku melihatmu. Kamu itu gadis terjelek yang pernah kutemui.”

“Terserah kamu, Tuan tampan sejagad raya. Aku tak peduli denganmu.”

"Urusan kita belum selesai. Tunggu saja, akan kubuat hidupmu menderita." Arumi mengabaikan perkataan Omar, lebih memilih menolong lelaki yang benar-benar butuh bantuannya. Dibandingkan beradu mulut dengan pemuda yang tak jelas rimbanya.

Melihat perlakuan Arumi yang cuek, Omar makin mendidih. Seumur hidupnya tak ada satu pun perempuan yang bersikap dingin kepadanya. Gadis-gadis kota sangat menggilai ketampanannya. Mereka berebut ingin menjadi kekasih Omar, bahkan ada yang sampai mengemis cintanya. Hanya gadis desa itu yang tidak tertarik sedikitpun. Ini menjatuhkan wibawa sang arjuna, Omar tidak terima.

"Hey, Gadis buluk. Mana ada laki-laki yang suka padamu. Wajahmu tak ubahnya seperti itik buruk rupa," seru Omar sembari tertawa terbahak melecehkan Arumi.

Sudah dihujat sedemikian rupa, Arumi tetap bergeming. Membuat Omar semakin penasaran karena tak mendapat lawan sepadan. Dihampiri gadis yang sedang memberi minuman lelaki tua itu, untuk menumpahkan semua kekesalannya.

"Cepat minta maaf padaku atau hidupmu menderita," bentak Omar kasar.

"Hidupku sudah menderita sejak kecil. Aku tak takut ancamanmu," jawab Arumi santai tanpa menoleh sedikit pun ke arah pemuda yang tangannya berkacak pinggang.

"Kurang ajar! Dasar ...." Pemuda itu menjeda ucapannya saat melihat tanda lahir Arumi di bagian leher belakang. Dia langsung terdiam. Percakapan dengan orang asing yang dia temui kala itu, membuatnya mengingat sesuatu.

"Apa? Mau ngatain kasar lagi? Silakan! Aku tunggu," balasnya enteng.

"Neng, sebaiknya minta maaf saja. Bisa panjang urusannya. Dia itu anak pak Hadi–pemilik lahan karet ini." Lelaki tua yang kondisinya mulai membaik berusaha merayu untuk berdamai.

"Bapak, tenang saja. Orang seperti dia, harus diberi pelajaran. Bukan berarti anak pemilik lahan bisa berbuat semaunya, Pak. Kalau sudah menginjak-injak harga diri, harus dilawan. Mau dia anak pemilik kebun karet atau konglomerat aku tidak peduli." Omar makin meradang mendengar jawaban Arumi.

"Apa kamu? Cepat pergi! bikin susah orang aja. Bukannya membantu malah bikin rusuh."

"Tunggu pembalasanku, Arumi. Kamu akan menangis memohon ampun di kakiku."

"Air mataku sudah mengering. Penderitaanku terlalu berat. Kamu mau menampungnya?" balas Arumi sembari tertawa sinis.

"Kalau mau, sini? Aku bagi satu untukmu. Penderitaan lengkap dengan air mata berikut kenangannya." Gadis itu kembali tersenyum. Mentertawakan lelaki muda yang tampangnya semakin murka. Setelahnya Arumi menuntun lelaki tua, meninggalkan Omar sendirian.

"Terkutuk kau Arumiii." Gadis itu melambaikan tangan dari belakang. Lelaki bertubuh atletis yang menggenakan sepatu boot bertambah geram.

"Mainnya nanti saja aku banyak tugas. Bye!” Kali ini Arumi menoleh ke belakang, menatap Omar yang wajahnya garang. Tak lupa dia memberinya bonus senyuman manis.

"Dasar perempuan buluk, kamu akan menyesal telah menantangku."

***

"Kamu kenapa, Omar? Pulang-pulang bawa amarah," tanya Hadi kesal. Pemuda itu mondar-mandir sembari mengutuk kejadian pagi tadi.

"Ada yang kurang ajar kepadaku, Pa."

Lihat selengkapnya