Ayas dan tante Ina pergi kerumah Haris yang mengadakan selametan, sebenarnya Ayas sudah menggunakan berbagai alasan supaya tidak jadi ikut tapi tante Ina bersikeras memaksanya ikut. Ayas pasrah berada diantara keluarga besarnya. Beberapa sepupunya juga ikut hadir seperti Rifky dan Dian bersama para istri-anak mereka. Ia yang melihat interaksi keluarga kecil mereka pun turut senang, apalagi kalau tak melihat batang hidup Haris makin lega perasaannya.
Semakin lama malah keasyikan ngobrol bareng dengan para istri kedua sepupunya itu, hingga acara benar-benar selesai Ayas ikut membantu mencuci beberapa perabotan.
"Sudah Ayas, kamu pulang saja duluan biar kami saja yang selesaikan." Ayas mengangguk, menurut perintah tante Ama.
Baru ia memasang sendal jepit murahnya, dua sepupu yang tak lagi membujang meledeknya lantaran Haris baru saja datang.
"Kalau pulang diantar ayang Haris saja biar makin lengket," goda Rifky seakan minta ditimpuk pakai galon air. Dian yang duduk diteras bersebelahan dengan Rifky, terkekeh pelan lalu menyesap kopinya. Mengangguk setuju dan memberika satu acungan jempolnya.
Ayas pun kesal, hendak beranjak namun langsung ditahan oleh Rifky yang juga menarik lengan Haris.
"Aduh, kok masih perang dingin sih? Sini duduk dulu."
Rifky mendudukan kedua sejoli itu berdekatan dipelataran. Wajah keduanya sama-sama masam, berbeda sewaktu kecil Ayas dengan ekspresi lugu minta dicubit dan Haris yang memasang wajah garang memeluk Ayas seakan tak memperbolehkan orang lain menyentuhnya. Nah, sekarang sudah besar kok malah jadi musuh sih. Dian terbahak melihat dua adik sepupunya tersebut, "Ayolah Haris, dulu suka gak malu tuh meluk Ayas. Sekarang kenapa malah malu-malu kucing?"
Ayas melepar sebelah sendal jepitnya mengenai wajah Dian, sepupunya yang satu itu harus diberi pelajaran. Dan sebelahnya lagi ia lempar pada Rifky, namun berhasil dihindari dengan gesitnya.
"Ow-ow, aku paham sekarang!" Ayas menatap Rifky was-was, ia merasa Rifky sedang merencanakan sesuatu yang aneh. Rifky menarik Ayas jatuh dalam pelukannya, namun detik berikutnya Ayas malah tertarik kembali hingga merasakan rengkuhan erat posesif dari Haris.
Sementara itu Rifky sudah jatuh tersungkur akibat dorongan kuat dari Haris, seulas senyum dan gelak tawa dari kedua laki-laki yang sudah menikah itu menari-nari dengan humornya.
"Nah 'kan masih sama, tidak ada yang berubah!" pekik Dian membuat keduanya tersadar.
Haris segera melepaskan pelukannya, keduanya sama-sama membuang muka lantaran tersipu malu.
"Yang kepala tiga gak usah malu gitu lah, bikin jijik." Dian merangkul erat dua sepupu yang ingin ia jodohkan. Dari kecil saja sudah ketahuan bagaimana lagak sukanya Haris pada Ayas, sayangnya yang dipuja malah gak ngeh dengan segala kodenya.
"Yas, kamu tu sudah punya pacar gak sih?" Tanya Dian tiba-tiba mewaliki Haris.
"Gak ada tapi orang yang disuka jelas ada." Jawaban Ayas membuat ketiga sepupunya penasaran. Apalagi Haris yang dirundung sedih tahu kalau hati Ayas sudah bertahta nama pria lain.
"Siapa? Anak kota sana?" kepo Rifky mengoncangkan sebelah lengannya.
"Bukan urusan kalian, udah ah aku mau pulang. Kelamaan bareng kalian bisa terkena kekurangan duit." Ayas mengambil kembali sendalnya lalu pergi meninggalkan ketiga sepupu kampretnya tersebut.
Namun sebelum ia berbalik, Ayas bertatapan dengan Haris. Seketika ia merasa tak nyaman pada tatapan Haris penuh terluka.
"Dian, dengar gak? Ada yang patah tuh, tapi bukan kayu." Goyonan Rifky dikala Ayas sudah hilang dari pandangan.