"Jika aku bukan orang yang bisa mendampingimu diakad nikah, setidaknya ijinkan aku datang membawa mu pada laki-laki yang menjadi masa depanmu"
-Haris-
Haris bangun dengan senyum cerahnya, bahkan jam tiga subuh ia sudah terbangun membantu ibunya menyiapkan segala makanan untuk sarapan nanti. Tante Ama yang merasakan perubahan putranya pun jadi bingung sendiri kenapa si bujangan tua mendadak bak abg awal puber.
"Maklum saja lah Bu, jatuh cinta dia sama Ayas." Adu Tanto pada ibunya mendapatkan kain lap kotor kena pada wajahnya.
"Hah? Ayas? Dia 'kan sepupu kamu sendiri Ris!" Tante Ama seakan tak habis pikir dengan anak bujang satunya.
"Lah kenapa? Tidak ada hubungan darah juga 'kan? Kalau pun ada hubungan darah juga tak apa, seperti Ali dengan Fatimah."
Panci yang harus nya berada diatas kompor kini malah ada dikepala Haris, "Anak sableng, kamu gak tahu kalau Ayas sudah tunangan?" pertanyaan Ibunya membuat Haris membeku. Menatap tak percaya pada ibunya sendiri.
"Ayas sudah bertunangan dan tiga bulan lagi dia akan menikah Ris, dia sengaja kesini memberi tahu kita nanti setelah semuanya hampir selesai."
Sakit, kecewa, terkhianati. Kali ini Haris merasakannya kembali dan rasanya jauh berkali lipat menyakitkan, kalau Ayas sudah bertunangan tapi kenapa ia belum memberi tahunya? Tak tahukah Haris harus kembali menanggung luka dari orang yang sama.
"Bu, kenapa dikasih tahu."
Haris menatap abangnya geram, jadi keluarganya sudah tahu dan tak ada yang memberi tahukan padanya? Haris bagai orang bodoh yang berharap lebih pada orang yang tak bisa ia raih cintanya. Seluruh semangat dan antusiasnya lenyap seketika, wajahnya kembali datar. Haris perlu waktu bersendiri, apa lagi yang ia bisa lakukan selain menangis, mencoba mengikhlaskan.
Rokok yang sudah tak pernah ia hisap bertahun-tahun kini kembali berada diantara bibirnya, menyesap kuat setiap asap yang keluar ia tampak kacau sekarang.
Kenyataan pahit Haris adalah ia tak mudah melupakan Ayas bahkan membencinya, satu senyum kecil itu sudah mampu menghapus segala rasa kecewanya. Berlapang dada, jika memang Ayas bahagia dengan tunangannya ia juga harus bisa bahagia. Dan itu artinya Haris akan menjadi bujang lapuk seumur hidup, karna ia tak akan jatuh hati pada perempuan lain selain Ayas.
"Haris!" Lihatlah senyum dan wajah cerianya, bagaimana bisa ia tak jatuh hati pada gadis yang begitu ia puja.
"Yas," lirih Haris menatap nanar Ayas yang berbalik kerumah, mungkin ada yang tertinggal.
"Apa aku harus menjadi orang brengsek demi mendapatkan mu?" Ini adalah ide gila Haris, kalau pun ia nekat tapi apakah ia sanggup melihat Ayas yang menatapnya penuh kebencian dan air mata. Ia menggeleng, Ayas bagaikan bunga yang rapuh. Tak akan melakukan hal yang gila karna ia masih ingin mendapatkan senyuman manis itu.
"Maaf lama, dompet ketinggalan tadi." Haris mengangguk, kali ini saja biarkan ia menikmati cinta sepihaknya.
Tak banyak obrolan karna Haris banyak diam dan menganguk kecil menanggapi obrolan antusiasnya Ayas. Tiba-tiba motor berhenti, rupanya Haris mampir sebentar menemui Ratna. Cemburu Ayas melihat interaksi keduanya. Makin murka ia melihat Ratna yang kegirangan setelah berpamitan dengan Haris.
Ayas sengaja ikut diam tak banyak bicara seperti Haris. Kesak dan keki dirasakannya, meski begitu mulutnya tak tahan juga ingin bertanya.
"Kalian tadi membahas apa?" Keluar juga pertanyaannya, Ayas harus menurunkan egonya demi pertanyaan kecil itu.