LAGI-LAGI, ia merasakan hidungnya makin panas. Lalu, tenggorokannya tercekat. Pelan-pelan pandangannya mengabur. Sedetik kemudian ia merasakan kehangatan mengalir di pipinya. Buru-buru ia usap pipinya dengan satu gerakan cepat.
Ia sudah berkali-kali menonton film ini. Namun, setiap kali pula air mata selalu berhasil lolos dari pelupuk matanya. Klaris menoleh ke belakang, memastikan tak ada mamanya di dapur atau Jimmi, adiknya, nongkrong di meja makan. Kemudian, ia kembali menghadap layar televisi, menggigit bibirnya, berharap dapat mengurangi sensasi pedas di matanya.
Adegan di layar menggambarkan seorang ayah sedang membaca buku bersama putri kecilnya. Klaris mulai berkaca-kaca saat Lucy, sang anak, menolak untuk membaca kata-kata sulit dalam buku itu karena tak mau terlihat lebih pintar daripada ayahnya.
Film itu bercerita tentang kehidupan Sam Dawson, pria dewasa dengan tingkat kecerdasan setara anak berumur tujuh tahun dalam membesarkan putrinya. Film ini adalah salah satu dari sekian kisah yang menginspirasi dan berhasil menggerakkan Klaris. Ia sudah menontonnya puluhan kali, tetapi belum bosan juga.
Saat kedua matanya baru saja kering, ia mendengar suara berisik Jimmi berbicara di ponselnya. Langkah kakinya berderap menuruni anak tangga.
Klaris buru-buru memencet sebuah nomor saluran televisi lain yang sudah ia hafal di luar kepala. Sekelompok anak remaja bule yang sedang bernyanyi dan menari hiperaktif mengelilingi sebuah panggung muncul di layar.
“Loser like meee …. Na na na … na na na ….”
Klaris mendadak lompat dari sofa. Tak cukup hanya ikut bernyanyi, kini ia pun menari-nari mengikuti para artis itu.
Jimmi terdiam di kaki tangga. Ponsel masih menempel di telinga.
“Bentar, ya, Nin. Entar gue telepon lagi. Kakak gue lagi gila, nih, perlu gue selamatkan … TV-nya.”
Jimmi terkekeh, merasa lucu. Setelah meniupkan kecupan mesra pada ponsel, ia memutuskan hubungan.
“Haduh! Gue paling benci, nih.” Jimmi menengok siaran televisi yang sedang membuat kakaknya kumat. “Bukan episode baru, kan, ini? Sono, ah, ini jatah gue main PS!”
Klaris melengos, menghentikan goyangannya.
“Silakan, Tuan Muda …. Kebetulan, saya juga baru mau undur diri dari layar kaca.”
“Bagus. Undur diri jauh-jauh sono ke layar tancep,” sahut Jimmi asal-asalan.
“Huu .…”
Klaris menyambar sebungkus Pocky dari atas meja makan sebelum bergerak ke arah tangga, menuju kamarnya.
“Halah, I Am Sam lagi yang ditonton. Enggak bosen apa?” Jimmi berkomentar saat mengeluarkan piringan yang masih tersangkut di perangkat PlayStation-nya.
Klaris memonyongkan bibir kepada adiknya meskipun sasaran cemooh tidak sedang memandangnya.
***
Klaris mengempaskan diri di kursi kerjanya. Ia duduk di depan layar monitor yang menyala, tetapi pijaran otaknya tengah berada di tempat lain. Ada di tiga tempat, persisnya.
Pertama, di mal Kotaraya. Minggu siang lalu. Ia baru saja keluar dari sebuah toko aksesori ketika tiba-tiba hampir menabrak seorang cewek mungil yang ternyata adalah teman sekelasnya waktu SMP dahulu. Rosi namanya. Mereka mengobrol beberapa menit lamanya di depan toko tersebut. Dari situ Klaris tahu bahwa Rosi sekarang bekerja sebagai seorang guru di sebuah sekolah luar biasa.
Kedua, sore pada hari yang sama. Tidak seperti biasa, Mbak Kiki yang bekerja di sebuah LSM meneleponnya. Klaris mengenalnya saat menjadi sukarelawan di LSM tersebut waktu ia masih kuliah dahulu. Mbak Kiki menghubunginya karena ingin membagi berita perihal program “Sekolah Nomaden”, program pendidikan untuk anak-anak jalanan yang masih butuh sukarelawan. Sayangnya, Klaris belum bisa berkomitmen di situ karena ia punya rencana untuk melanjutkan kuliah. Bila rencananya berjalan, ia akan cukup sibuk membagi waktu untuk kerja dan kuliah.
Ketiga, malam harinya. Di kamar, di kursi yang sama, di depan komputer yang sama. Klaris sedang menelusuri internet dan mencari referensi tentang sejumlah program studi S-2 yang menarik minatnya ketika tiba-tiba masuk ke sebuah situs asing. Setelah ia baca-baca, rupanya itu adalah blog seorang psikolog yang bekerja di sebuah sekolah di Amerika Serikat. Pada sebuah jurnal yang ia tulis, ia menceritakan pengalamannya saat mendiagnosis anak-anak dengan kebutuhan khusus. Penuturannya sangat menarik dan menyentuh hati, sampai-sampai Klaris meninggalkan komentar di blog tersebut.
Kejadian terakhir ini membuat Klaris teringat dua kejadian sebelumnya pada siang dan sore harinya. Ia segera menyadari betapa dekat hubungan ketiga peristiwa itu. Ketiganya hendak mengatakan sesuatu kepadanya. Sesuatu itu ada hubungannya dengan anak-anak dan special education.
Ia sering menemukan pertanda semacam itu. Kadang-kadang ia menganggapnya punya cara kerja yang sama seperti mimpi. Mimpi sering kali menyampaikan sesuatu yang terpendam di alam bawah sadar subjeknya. Begitu pula dengan rentetan kejadian ini, menyuarakan satu hal yang sudah lama ia pikirkan.
Ketika masih di bangku kuliah Klaris pernah tergabung dalam tim riset di Pusat Kebutuhan Khusus di kampusnya. Pengalaman singkat di situ membuatnya tertarik kepada manusia dengan bakat dan kebutuhan khusus hingga kini.
Lalu, tiga peristiwa yang terjadi pada hari yang sama itu bisa jadi adalah isyarat dari semesta untuknya menindaklanjuti apa yang diam-diam ia dambakan.
Ia masih menatap kosong pada layar monitor beberapa detik lamanya, kemudian melarikan jari-jarinya di atas keyboard. Beberapa jendela browser ia buka sekaligus untuk mengetikkan beberapa kata kunci yang berbeda-beda. Lima belas menit pertama tanpa hasil memuaskan, Klaris merebahkan punggungnya ke sandaran kursi. Rambutnya yang halus dan jatuh melampaui pundak ia gulung asal tinggi-tinggi. Setelah setengah jam berlalu, ia mulai menjumput sebatang Pocky, menggigitnya pendek-pendek.
Baru setelah enam stik berlapis cokelat habis, ia menemukan hasil menggembirakan dari pencariannya di internet. Dengan senyum tersungging ia mencatat hasil-hasil temuannya pada secarik kertas bekas dari tumpukan di atas printer.
Hampir tepat pukul sepuluh malam ponselnya bernyanyi. Tanpa melirik pun Klaris tahu bahwa itu Tedi. Pacarnya itu punya kebiasaan untuk meneleponnya pada jam-jam tertentu setiap harinya, menyesuaikan dengan jadwal kegiatannya yang selalu teratur. Pukul sepuluh malam adalah jam tidur normalnya. Bila sempat Tedi selalu meneleponnya sebelum tidur.
Klaris memarkir tetikus untuk kemudian meraih ponselnya.
“Tedibear!”
Ia mendengar geraman halus dari seberang. Klaris terkikik. Tedi tidak terlalu suka dengan panggilan sayang Klaris untuknya itu. Menurutnya, “Tedibear” terdengar kelewat imut dan berisiko menurunkan kadar maskulinitasnya di mata orang yang mendengar. Meskipun Klaris sudah bersumpah tidak akan menyebut nama itu bila sedang berada di sekitar mahasiswa-mahasiswa Tedi, kadang Tedi masih memilih berlagak tidak mendengar saat dipanggil.
“Lagi ngemil Pocky,” Klaris menjawab pertanyaan Tedi.
Lalu, Klaris menggigiti camilannya dengan suara demonstratif.
“Jam segini? Nggak takut gendut, Kla?”
“Beuh. Kemarin ngatain aku terlalu kurus. Pucat. Sekarang nanya enggak takut gendut? Jawabannya, enggak!”
“Oh, kemarin aku bilang kurus, ya? Lupa ….”
Klaris tertawa mendengar respons Tedi. Ia tahu, Tedi mengatainya kurus Minggu malam kemarin karena sedang ingin memesan steik enak, tapi berukuran selebar pantat kursi, dan tidak mau menghabiskannya sendirian.
Tedi memotong tawanya dengan ajakan untuk bertemu.
“Boleh aja ketemu Jumat malam. Malah kebetulan. Ehm, soalnya sebenarnya ada kemungkinan aku juga ada acara Sabtu besok …. Bukan acara kantor, melainkan cari sekolah.” Klaris memutar bola matanya, berdoa dalam hati agar Tedi tidak menanyakan lebih lanjut.
Ia sadar telah memberikan jawaban yang tak tepat kepada Tedi. Namun, ia tahu jawaban jujurnya tidak akan memuaskan Tedi. Tidak akan membuat Tedi mengoceh senang dengan nada tinggi seperti sekarang ini.
“Tenang, tenang .… Aku belum tahu pasti. Aku masih browsing. Besok masih harus telepon, nanya-nanya—”
Tedi memotongnya dengan serentetan pertanyaan tentang program studi, dan tawaran untuk mengantarkannya ke kampus. Klaris mendesah, makin sebal ketika mendapati bungkusan doping-nya telah kosong.
“Hei, hei .… Aku bilang, belum tahuuu .… Besok kita ngobrol lagi, ya! Udah, tidur, gih! Jangan sampai matamu jadi mata panda besok karena kamu, kan, beruang!”
Klaris tertawa. Ia sengaja bercanda untuk mengusik dan mengalihkan perhatian Tedi. Sebab, ia memang belum tahu pasti apakah akan sungguh-sungguh menempuh jalan yang diharapkan Tedi itu: kuliah S-2 di kampus tempat Tedi mengajar saat ini. Ia butuh waktu untuk mencari dan menimbang.
Ketika akhirnya Tedi mengakhiri pembicaraan mereka dan menutup telepon, Klaris kembali menekuni layar monitornya. Saking asyiknya berselancar, ia baru tersadar kalau butuh tidur ketika tengah malam sudah ia lewati.
***
“Klaris! Pacar lo datang!”
Klaris mendengar Jimmi berteriak dari bawah saat ia mematut diri di cermin. Ia melirik jam dinding di kamarnya. Tepat pukul enam. Setelah memastikan kartu identitas kantor tidak tertinggal di tas yang lain, ia menyambar tas, lalu keluar dari kamar.
“Tumben Jimmi udah bangun,” kata Tedi ketika Klaris menjejalkan badan jangkungnya ke dalam sedan Tedi.
“Pagi, Tedibear!” sapa Klaris, setengah protes.
“Oh, pagi … Klaproject!” Tedi meringis. Tedi tak punya panggilan khusus untuk Klaris. Namun, bila suasana hatinya sedang baik, ia suka membalas panggilan sayang Klaris dengan nama konyol-asal-sebut pertama yang muncul di kepalanya.
Klaris tersenyum senang.
“Jimmi udah bangun karena ada kuliah pagi, ujian mid pula,” sahut Klaris. “Jadi, ini adalah salah satu kesempatan langka saat kamu bisa melihatnya bangun pagi. Mid, ujian final, dan gangguan pencernaan.”
“Ew,” kata Tedi sambil menjalankan mobilnya.
Tedi melarikan mobilnya dengan agresif. Klaris masih boleh tiba di kantornya pukul setengah sembilan, tetapi Tedi harus mengajar kelas pukul delapan pagi ini.
“Tedi … kalau memang repot antar-jemput aku pagi-pagi, kenapa harus dipaksain, sih? Jaminan keselamatan juga enggak beda jauh sama metromini gini ….”
Tedi merespons dengan melonggarkan otot-otot tangannya pada kemudi, tetapi tidak mengurangi tekanan kakinya pada pedal gas.
“Kamu, sih, pakai punya acara besok Sabtu,” jawab Tedi sekenanya.
Klaris menatapnya sambil mengangkat alis. “Serius, tuh, itu alasannya?”
“Enggak …,” jawab Tedi berbohong.
Klaris bisa menduga dengan mudah bahwa Tedi, dalam hati, sebenarnya gusar saat kemarin akhirnya mengetahui rencana Klaris.
Pertama, ia kecewa karena Klaris mengaku bahwa sebenarnya tidak terlalu berminat melanjutkan kuliah di program magister psikologi. Kedua, ia bingung karena Klaris malah kepingin sekolah untuk jadi guru. Menurut Tedi, itu berarti menyia-nyiakan ilmu psikologi yang sudah ia tempuh sebelumnya demi sesuatu yang prospeknya belum tentu lebih baik.
“Kalau kamu pengin kerja di sekolah supaya dekat anak-anak—or whatever—kamu, kan, bisa tetap berkarier di sekolah itu sebagai psikolog?” tanya Tedi waktu itu, tak mengerti.
“Tapi, kan, aku maunya jadi pengajarnya. Beda, kan?” Tanggapan Klaris saat itu tidak juga mencerahkan Tedi.
Tedi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Entah karena tak tahu atau karena takjub.
Karena itulah, saat Tedi menawarkan diri untuk menjemput dan mengantarkannya ke kantor pagi ini, Klaris sudah mengantisipasi adanya kuliah pagi darinya. Ia menunggu saja. Menunggu Tedi buka mulut duluan dalam angkot berbulu sedan pagi ini.
Ketika mereka mencapai Jalan MT. Haryono, arus lalu lintas sudah mulai mampat. Tedi menghela napas, lalu mulai mengetuk-ngetukkan jari pada kemudi.
Klaris meliriknya, lalu waswas setelah melihat perubahan ekspresi dan gelagat Tedi.
Benar saja. Tiba-tiba, Tedi membunyikan klakson mobilnya, memberi peringatan kepada pengemudi metromini di depannya. Bagaikan peserta cerdas cermat, setelah membunyikan bel, Tedi langsung mengutarakan isi kepalanya.
“Kla, kenapa, sih, kamu enggak pernah cerita atau tanya kepadaku soal rencanamu itu? Setelah lima tahun kita pacaran dan dua tahun lebih kita survive long distance Jakarta-Melbourne, aku pikir hubungan kita lebih terbuka daripada ini. Tapi, ternyata … kenapa …?”
Klaris tercekat. Ia menyiapkan diri untuk menerima teguran, bahkan kemarahan. Seperti yang biasa mereka lakonkan, bagai kakak dengan adiknya. Namun, ia tak mengira akan mendengar kalimat sentimental macam itu dari mulut Tedi. Orangtua Klaris, sponsor utama dana kuliahnya, saja tidak seheboh ini menanggapi wacananya untuk pindah profesi.
Lalu, kalimat yang tak selesai itu. Tak biasanya Tedi terdiam di tengah orasinya. Sejurus kemudian Klaris menyadarinya. Ini bukan Tedi yang penggerutu dan tukang kritik seperti biasanya. Kali ini kata-katanya terdengar personal dan terlontar dari lapis hatinya yang lebih dalam. Klaris merasakan Tedi terluka.
“Maaf, Ted.”
Naskah pidato Klaris terbang dari isi kepalanya. Ikut hanyut bersama kata-kata Tedi yang mengabur tadi.
Spontan, Tedi menoleh memandang perempuan di sampingnya. “Hah. Tumben minta maaf.”
“Habis … tumben sedih,” sahut Klaris.
“Eh, yang seharusnya berhak ngerut-ngerutin wajah kayak gitu, tuh, aku!” Tedi menoyor kepala Klaris yang cemberut.
Kemudian, mereka terdiam. Sama-sama menghayati gerak gerik jalanan Jakarta pagi itu. Namun, masing-masing menyerap hal yang berbeda ke dalam benak mereka.