INE BERJALAN—separuh mengentakkan kaki—masuk ke ruangannya, kemudian menutup pintu. Ponselnya masih ia tempelkan ke telinga. Sambil mendengarkan lawan bicaranya menuturkan argumen, ia meletakkan tasnya di bawah meja, duduk di kursi, lalu menyalakan komputernya.
“Dengar, ya, Ron. Dengan jelas tadi dia bilang mau rapat di Hotel Berlian. Ngapain dia bohong? Kalau dia mau bohong, tinggal bilang aja dia ke kantor. Beres,” kata Ine, ngotot.
Kemudian, ia terdiam, memberi kesempatan kepada detektif pribadinya untuk menjelaskan.
“Betul juga, sih,” sahut Ine lagi. “Saya bisa dengan mudah menelepon stafnya di kantor. Sementara di hotel dia tidak terlacak.” Ia mengertakkan gigi, tak suka mengakui kesalahannya. Namun, di lain pihak, ia merasa tidak percuma menyewa Roni sebagai penyelidik pribadi.
“Ya, sudah. Pokoknya nanti begitu kamu siap, ikuti dia lagi, ya.” Ia menyudahi pembicaraannya.
Ine menyentuh kulit tangan kirinya dengan ujung jari, kulit yang tak lagi sekencang dahulu. Ia mendesah, gelisah. Meskipun bisa membeli semua produk kecantikan terbaik, ia tak bisa mangkir dari waktu.
Ia mengamati bayangan wajahnya di kaca jendela gedung. Ia masih cantik. Pada masa-masa tertentu, ia bahkan merasa lebih cantik daripada dirinya saat usia dua puluhan dahulu. Masa mudanya dahulu ia habiskan untuk belajar dan bekerja, tanpa merasakan pentingnya menjaga penampilan. Setelah sukses dan merayap naik ke kelas sosial tertinggi di perusahaan dan beranjak ke usia empat puluhan, barulah ia merasakan tuntutan untuk merawat fisik dan menjaga kecantikannya.
Akan tetapi, betapapun giat usahanya menjadi wanita berkualitas terbaik, ia tak mampu menahan suaminya yang semakin menjauh darinya.
Hal itu dimulai beberapa bulan lalu. Di sela-sela kesibukannya sendiri, tiba-tiba ia menyadari bahwa suaminya makin jarang terlihat di rumah maupun bertukar dialog dengan dirinya. Kecurigaan mendesaknya untuk cari tahu. Namun, dari hari ke hari gengsinya yang tinggi selalu mencegahnya untuk bertanya atau membujuk suaminya. Akhirnya, ia membulatkan tekad untuk menghubungi Roni, seorang relasi yang pernah bekerja untuk kantornya, dan kemudian menobatkannya sebagai detektif pribadi.
Ine membuka surel. Ia berniat menyibukkan diri dengan pekerjaan agar pikiran-pikiran buruknya tersingkir. Ia membuka surel pertama, sebuah laporan dari manajer gedung. Namun, hingga lima menit berlalu matanya tak juga beranjak dari kalimat pertama. Otaknya terlalu jenuh, terokupasi oleh berbagai hal lain sehingga tak mampu menerima informasi baru yang tak menarik itu.
Akhirnya, ia menyerah kalah pada emosinya. Ia menutup aplikasi yang sudah ia buka, kemudian mematikan komputer.
Hampir semua kubikal area kerja di luar sudah terisi. Dengungan halus prosesor dan obrolan karyawan berbaur di situ. Namun, tak sebisik pun suara tersebut merambat ke ruangan Ine. Ia menggenggam gagang telepon, sedangkan matanya menerawang. Ia sedang mencoba memutuskan siapa yang hendak ia telepon lebih dulu. Jari-jari tangan kirinya sudah bersiap hendak mengetuk-ngetuk meja ketika Ine teringat bahwa baru sehari sebelumnya mendapat manicure. Ia mengepalkannya seketika. Kemudian, memijit serangkai nomor di pesawat teleponnya.
“Halo, Papa,” sapanya dengan lembut. “Sudah sampai di Hotel Berlian?”
Suara Herman, suaminya, terdengar formal dan setengah hati.
“Oh, belum mulai rapat, kan? Rapatnya di ruang apa, sih?”
Ine tidak mau terdengar seperti sedang menyelidiki atau terlampau ingin tahu keberadaan sang suami bagai pengantin baru. Namun, ia tak punya ide lain. Semoga saja kemampuan aktingnya berhasil menyiratkan pertanyaan tersebut sebagai pertanyaan basa-basi.
Ine cemberut. “Oke, enggak perlu ketus. Aku cuma mau ngingetin. Jangan lupa jemput Lana nanti malam di sekolah.”
Ia meletakkan gagang telepon dengan perasaan campur aduk, kemudian menimbang perlunya menghubungi Roni lagi. Namun, ia teringat sebelumnya Roni bersikeras bahwa ia punya narasumber tepercaya yang sedang memantau Herman dari jarak sangat dekat.
“Restoran En Croute …,” Ine berbisik kepada diri sendiri. Tanpa bisa dibendung benak Ine langsung dibanjiri serangkaian skenario yang mungkin sedang terjadi di restoran tersebut antara suaminya dan entah-siapa-itu. “Let’s see who it is!”
Ia menyambar tasnya sembari beranjak keluar ruangan. Ia melambai kepada sekretarisnya sambil berkata malas, “Sarapan dulu, Mon.”
Sudah puluhan kali ia membunyikan klakson mobilnya, tetapi setengah perjalanan pun belum dicapainya. Ine hanya bisa menggerutu tanpa hasil. Tentu saja kondisi lalu lintas Jakarta ini sudah menjadi santapan sehari-hari baginya. Namun, rasanya setiap hari baru dan kemacetan baru adalah teka-teki yang tak pernah bisa ia pecahkan. Puluhan tahun hidup di kota ini dan sekian banyak hafalan rumus jalan-alternatif-mana-untuk-jam-macet-mana sering kali mentah saat ia sudah tenggelam di belantara Jakarta.
Setelah tujuh belas klakson dan dua kali percobaan jalan tikus, Ine tiba di tujuan. Ia memasrahkan mobilnya ke petugas valet dan melenggang masuk ke hotel paling bergengsi di Jakarta Pusat itu.
Ia memang belum sempat sarapan pagi ini gara-gara Herman yang tumben-tumbennya berangkat sepagi Lana berangkat sekolah. Tentu saja itu membuatnya penasaran. Suaminya cuma bilang bahwa ia ada janji breakfast meeting dengan calon klien baru di Hotel Berlian. Jadi, setelah berbulan-bulan sering pulang malam dengan alasan lembur, kini ditambah dengan breakfast meeting? Dengan sepenuh hati Ine meragukan suaminya.
Lima belas menit setelah suaminya berangkat bersama Lana, Ine sudah berada di dalam mobilnya. Ia gusar karena menurut penyelidikan Roni, seharusnya jadwal suaminya hari ini hanya di kantor. Entah Roni yang melakukan kesalahan atau Herman yang tiba-tiba punya rencana mendadak.
Hotel Berlian punya dua restoran dan satu kafe. Restoran En Croute menempati salah satu sisi lantai dasar hotel yang mendapat perluasan hingga menjorok ke luar bangunan sebagai area patio dining. Hanya ada dua meja terisi di situ ketika Ine masuk. Sepanjang penglihatannya, ia tidak melihat Herman di mana pun.
“Breakfast meeting, ya. Yeah, right!” gumam Ine.
Ia menghela napas. Separuh hatinya lega karena tidak menemukan suaminya—entah bersama siapa—di tempat ini. Sehingga selingkuh atau tidak, ia tidak perlu berkonfrontasi dengan Herman. Namun, di sisi lain ia merasakan keresahan yang makin tebal. Ditambah pertanyaan-pertanyaan lain yang kian menghantuinya.
Kenapa dia bohong? Siapa yang dia temui sampai harus berbohong? Sedang di mana dia sebenarnya? Apakah dia ada di salah satu kamar hotel ini?
Ine memilih salah satu meja di sudut ruangan, meminta pelayan membawakannya kopi dan menu. Sepuluh menit berikutnya ia menghabiskan waktu sarapannya bersama kopi dan bagel dalam ketenangan. Ia sengaja menghindari godaan untuk menghubungi Roni atau sekretaris Herman. Mereka bisa menunggu, setidaknya setelah tubuhnya mendapat asupan caffeine.
“Halo.” Tiba-tiba, seorang lelaki muncul di depan mejanya.
Ine hampir tersedak kopi ketika melirik ke arah sumber suara dan menemukan sebuah wajah tampan sedang tersenyum menawan.
“Sori. Saya enggak bermaksud mengganggu,” kata si tampan. “Tapi, saya tadi enggak sengaja memperhatikan Anda waktu berdiri dan sepertinya ….”
Ine menatap bingung, menunggu pria itu memilih kata-kata.
“Ada yang salah dengan rok Anda, di bagian belakang.”
Ine terpekik, sontak bangkit dari kursinya dan menengok bagian belakang tubuhnya. Ia mengenakan rok model pensil yang memiliki beberapa layer. Rupanya, salah satu layer itu terselip ke bagian pinggang. Selain itu, untungnya aman, tak ada bagian tubuh yang terekspos. Ia mengembuskan napas lega. Inilah akibatnya kalau pergi terburu-buru.
Ketika duduk kembali ia baru menyadari bahwa pria tersebut sudah mengambil tempat duduk di depannya tanpa menunggu dipersilakan. Wajah bersinarnya tersenyum simpatik. Ia mengenakan setelan baju kasual, tetapi rapi dan tampak mahal. Di luar dugaan Ine, ia tak mampu mengeluarkan teguran apa pun kepada pria lancang nan menawan di hadapannya.
“Makasih,” kata Ine, canggung. Namun, ia tak yakin apa yang harus ia katakan selanjutnya. Sudah puluhan tahun tak ada cowok yang tiba-tiba mendekatinya seperti ini.
“Maaf, ya, sepertinya kamu enggak punya urusan lagi di sini,” sambung Ine dengan ketus. Dalam hati ia berpikir, kalau usiran halus ini tidak mempan, ia berencana untuk mengancam akan memanggil sekuriti.
“Oh, maaf kalau Anda menganggap saya tidak sopan karena terus terang soal pakaian Anda,” sahut pria itu, masih dengan senyum menawannya. “Saya chef di sini. Saya cuma mau memastikan Anda terlayani dengan baik.”
“Saya pesan kopi dan bagel. Enggak perlu chef untuk itu, kan?” Alis Ine bertaut.
“Enggak. Makanya tiap pagi tugas saya cuma jajak pendapat tamu begini. Sekaligus kritikus fesyen.” Lelaki itu tertawa kecil.
Ine tidak tahu apakah pria ini serius atau bercanda. Namun, ia terpancing untuk tersenyum juga. Agaknya, kenyataan bahwa pria muda iseng yang mendekatinya ternyata adalah chef sedikit melonggarkan sarafnya. Itu, dan kenyataan bahwa pria itu dikaruniai wajah tampan.
“Ludi.” Pria itu mengulurkan tangannya.
Secara refleks Ine menyambutnya sambil menyebutkan namanya.
Tahu-tahu, Ine telah melewatkan makan paginya bersama Ludi. Si koki muda tampan itu membawa kopi sendiri sembari menemaninya makan. Selain jago masak, rupanya ia juga pencerita yang menyenangkan. Ine menikmati obrolan mereka.
“Ludi, kamu enggak kerja? Sudah pukul sepuluh. Bukannya pukul segini kamu harus udah mulai kalang kabut di dapur?”
Ludi tertawa renyah. “Seharusnya. Nanti kalau bos saya marah, saya tinggal menyalahkan tamu cantik yang pengin ngobrol sama chef dan bikin saya lupa waktu ….”
Ine merasakan pipinya memanas. Ia tersipu malu. Di hadapannya tampak Ludi menikmati pemandangan itu dengan senyum tersungging.