Kahyangan. Dilingkupi cahaya pengusir kegelapan. Di bawahnya mengalir sungai Gangga, di dekatnya terpancang Gunung Meru. Berbagai tumbuhan sulur menyelimuti. Hutan tumbuh lebat, menjadi habitat hidup hewan-hewan surgawi. Sejauh mata memandang di Kahyangan, mestinya warna hijau yang terbentang, bukan malah kekeringan dan kengerian! Sungguh, seharusnya, Kahyangan jauh dari keburukan, siksa, dan derita. Akan tetapi, kebahagiaan dan keindahan Kahyangan tersebut sedang menghadapi cobaan. Para dewa gelisah, mondar-mandir di Kahyangan. Untuk duduk pun mereka tak tenang. Sekujur tubuh para dewa terbasahi peluh dan keringat. Pakaian kebesaran dewa nampak kusut, tak terawat. Aroma tubuh para dewa yang biasanya menebarkan bau wangi, kali ini malah mengeluarkan bau kecut.
Para dewa mengeluh. Mereka memegangi kepala. Menahan diri melucuti pakaian sendiri. Mereka ingin sekali telanjang agar hawa panas tak lagi menerjang. Apalagi, pakaian kebesaran dewa terpintal dari sutra emas dengan mahkota yang dihiasi zamrud aneka warna seberat 500 kg, sehingga menyebabkan hawa panas terperangkap. Bahkan, ada beberapa dewa yang sudah terjebak halusinasi karena serangan gelombang panas. Lihat Bathara Kama, sang pengurus cinta, duduk di pinggir Kahyangan sembari melemparkan tatapan kosong ke segala arah, sambil membiarkan mulutnya menganga, meneteskan liur terus menerus.
Sementara itu, para dewi juga mengalami hal yang sama. Namun beruntungnya mereka, dapat kesempatan berendam di Kali Gangga. Tidak ada dewa yang protes, bahkan Bathara Guru sekalipun. Sudah jelas memang, para dewa kalah melawan keras kepalanya para dewi. Di Kali Gangga, para dewi melucuti pakaian kebesaran, meletakkannya di samping kali. Beramai-ramai mereka meredam panas dengan cara berendam. Tubuh para dewi terlihat jelas karena air Kali Gangga yang demikian jernih. Lekuk tubuh yang menampilkan keindahan sempurna, dengan berbagai warna kulit dan tipe rambut yang makin memabukkan. Pemandangan itu sangatlah langka. Mengingatkan pada kisah Jaka Tarub.
Ada beberapa dewa yang usil. Mereka menyamarkan diri menjadi hapsari, sengaja mengganti kelamin mereka untuk sementara waktu agar bisa ikut berendam. Entah karena memang ingin berendam atau sekadar menikmati kemolekan tubuh para dewi yang terpampang. Turut serta asyik bermain kecipuk air dengan para dewi.
Dewi Ratih, dewi asmara, kecantikan dan keindahannya melebihi harga proyek pembangunan nuklir di dunia. Ia baru saja datang, melepas selendang hijau miliknya, melucuti perlahan jarik yang menutup tubuhnya. Kulit mulus berwarna sawo matang. Rambut ikal yang terikat kemudian dibiarkan tergerai. Pelan ia melangkah ke pinggir Kali Gangga, lalu terjun ke air. "Akhirnyaaa..." Dewi Ratih berteriak girang. Saat melompat ke Kali Gangga, seluruh tubuh Dewi Ratih menyilaukan mata.
"Apa Bathara Guru sudah menemukan sumber masalahnya?" Tanya Dewi Laksmi pada Dewi Manik.
"Sepertinya belum." Jawab Dewi Manik dengan singkat.
"Ah, wis ora betah aku!!! Panasss!!" Ujar Dewi Laksmi lagi. "Kalau siang panasnya minta ampun, kalau malam sumuknya keparat!" Tambah Dewi Laksmi.
Byurrrr!!! Dewi Ratih menghempaskan tubuh di air setelah melayang di udara beberapa menit. "Adhuh! Kok perasaan airnya berkurang?" Dalam batin, Dewi Ratih keheranan.
Di Bale Kahyangan. Para dewa berhasil dipaksa Bathara Narada untuk berkumpul. Merapatkan kondisi Kahyangan yang sedemikian panasnya. Bathara Guru sendiri yang memimpin rapat umum dewa saat itu. Meski hati resah, dan sekujur tubuh berkeringat basah. Mereka harus tetap menemukan akar masalah. Sebenarnya, Bathara Guru sudah ratusan kali mengadakan pertemuan, tapi hasilnya selalu saja nihil.
"Bathara Surya, apa kamu yakin bukan mataharimu yang bocor?" Tanya Bathara Guru mengawali diskusi.
"Dhuh Raja Para Dewa, sungguh bukan saya dan bukan matahari saya. Lagipula, saya selalu menyetel suhu matahari dengan daya tahan tubuh saya sendiri. Mana mungkin saya memanasi diri sendiri?" Jawab Bathara Surya membela diri.
"Bathara Narada, menurutmu bagaimana?" Bathara Guru balik bertanya pada Bathara Narada.
"Mohon maaf pukulun. Saya kurang tahu."
Nampaknya pertemuan itu akan kembali sia-sia. Dan hingga hari depan, di hari yang belum jelas akhirnya, para dewa masih harus menahan panas. Supaya bisa menghentikan hawa panas yang terjadi, mereka perlu mencari sumber masalahnya! Sebelum sumber masalah ditemukan, mereka akan terpanggang hidup-hidup. Tinggal di nirwana serasa di neraka. Di tengah kebingungan, terdengar suara para dewi yang berteriak-teriak.
"Kali Gangga hampir asat!! Hampir habis airnya!!"