Langit malam warnanya begitu buruk rupa. Hitam dan gelap. Untung saja tertempeli bercak putih bercahaya tanpa ada jeda. Sekelebat lintang kemukus melintas memancarkan warna merah kekuningan ke arah tenggara, membelah gelap dan bercak langit. Orang Jawa menyebut itu lintang kemukus, atau bintang jatuh, dengan istilah pulung. Setiap warna memiliki arti yang berbeda. Bila pulung itu berwarna merah kekuningan, tandanya jaman sedang dilanda kesengsaraan. Benar adanya kepercayaan tersebut. Beberapa tahun belakangan ini, orang-orang banyak yang mendadak sakit. Sore lara esuk mati, esuk lara sore mati. Silih berganti menggelimpang mati dengan mudahnya. Belum lagi ditambah dengan guncangan gempa yang secara berurutan terjadi dari arah Barat ke Timur. Menurut berita ramalan BMKG, warga Madyapura harus bersiap-siap dengan aktifitas Gunung Merapi yang bisa erupsi kapan saja.
Di desa Madyapura, setiap hari bendera hijau berkibar di depan rumah, secara berurutan, dari dusun ke dusun, ditiup angin menyebarkan berita duka, dan pada dini hari berikutnya selalu ada saja warta lelayu atau berita kematian. Orang-orang desa Madyapura mulai terbiasa, menerima kenyataan hidup yang sedemikian pedihnya. Sanak saudara, tanpa tanda apapun, bisa saja mendadak mati dengan gejala sesak nafas dan tubuh mengejang hebat, sebelum nyawa tercerabut dari kerongkongan secara menyakitkan. Mereka ingin menangis, tapi karensa sudah terlalu sering menangis, mereka sudah tak paham lagi bagaimana caranya menangis!
Bila ada sanak saudara yang mati, mereka mengikuti prosedur yang sudah ada dengan sangat biasa. Memberitahu tetangga lewat toa mushalla, memandikan si mayit, mengafani, menyalati, lalu berarak mengubur mayit. Semua dilakukan dengan mulut terkunci. Tidak ada seruan takbir. Tanpa penyesalan dan kesedihan. Diam-diam, mungkin saja, di dalam hati warga Madyapura, mereka berharap dapat giliran mati secepatnya daripada harus kehilangan keluarga dan sahabat.
Ketika matahari mulai menampakkan wujud sejati. Para lelaki desa berangkat ke sawah untuk mengurus padi. Sesampainya di sawah, mereka mencangkul tanah kering yang merekah, mengairi sawah dengan air kencing mereka sendiri, dan duduk-duduk di pematang sambil menggerakkan juluran tali yang dihiasi kaleng bekas untuk mengusir burung-burung. Ya, burung-burung yang bahkan sudah menggelepar mati di tengah sawah. Pada waktu itu, para lelaki desa mengerjakan sawah yang padinya tumbuh di dalam imajinasi.
Sementara itu para wanita desa-lah yang mendapat tugas paling berat. Sejak pagi buta mereka berlari atau ngebut mengendarai motor menuju pasar. Sesampainya di pasar, mereka berebut bahan makanan. Tidak jarang ada yang sampai tonjok-tonjokan. Ada yang beruntung dapat tempe busuk, namun ada juga yang nasibnya buruk karena hanya dapat buncis kering. Apapun yang mereka dapat, harus mereka bawa pulang dan dimasak. Tidak peduli apakah bahan makanan sudah busuk atau masih segar. Lagipula, mereka sendiri bahkan lupa bagaimana kesegaran makanan itu.
Anak-anak dan remaja bermalasan di rumah. Menyalakan kipas angin guna menghalau panas. Sudah bertahun lamanya mereka diliburkan dari sekolah. Kegiatan sekolah dialihkan secara online. Mereka setiap hari merengek ke orang tua, minta dibelikan paket data, sebab daripada mengikuti kelas online, mereka lebih banyak mengakses Youtube dan Tiktok.
Sumber air menjadi persoalan tersendiri. Para warga Madyapura setiap siang berburu sumber air baru. Ketika ada yang menemukan sumber air, dia akan memanggil semua orang desa, lalu semua orang desa antre untuk mendapatkan air meski harus mengeluarkan biaya.
Manusia dilanda coba. Terjadi di seluruh dunia. Madyapura hanya salah satunya. Meskipun terletak di lereng Gunung Merapi, mereka malah mengalami kekeringan dan ancaman letusan. Warga Madyapura sudah biasa merasakan gempa, lagipula kalau letusan Gunung Merapi benar-benar terjadi, mereka memilih tetap tinggal di desa daripada harus ikut evakuasi.
Malam datang seperti biasanya. Alur waktu mengalir tanpa kendala. Di ujung desa Madyapura, tepat di dekat sumber mata air yang sudah kering, terlihat rumah reot yang terbuat dari bambu berdiri dengan ragu-ragu. Sebab sewaktu-waktu dapat dihempas angin. Suara jangkrik terdengar nyaring, seolang menuntut manusia agar memberi mereka makan.
Sepi melingkupi malam hari. Lurah Badranaya duduk di atas lincak depan rumah sembari menggaruk perutnya yang buncit. Matanya tertuju pada sajian cahaya gugusan bintang Orion. Mulutnya menghisap kretek dengan perlahan. Mengusir dingin malam di tengah mangsa ketiga yang sudah berlangsung lima tahun lamanya. Di ujung mata, Lurah Badranaya menahan tetes air mata.
“Ngapa e pak? Kenapa pak?”
Suara Gareng terdengar. Lurah Badranaya cepat-cepat mengusap mata tanpa melihat sumber suara. Gareng berdiri di ambang pintu. Sedari tadi memang sedang mengamai tingkah aneh bapaknya. Perlahan Gareng melangkah menghampiri bapaknya dengan sudah membawa secangkir kopi yang masih panas.
Gareng duduk di kursi sebelah lincak. Menaruh cangkir berisi kopi di atas tanah. Tubuhnya dibalut jaket, lehernya berkalung sarung. Gareng berdiri sejenak, lalu mengambil bungkus kretek yang ada di dekat bapaknya. Tanpa meminta izin, Gareng menghisap satu batang kretek milik bapaknya. “Eh, kok enak? Sikat ah...” Ucap batin Gareng. Bara api membakar ujung kretek yang dihisap Gareng. Penuh penghayatan Gareng menghembuskan asap kretek.
Lurah Badranaya tidak menggubris kelakuan putra pertamanya, Gareng. Setelah menghela nafas beberapa kali, Lurah Badranaya kembali fokus melihat gugusan bintang Orion. Gareng merasa ada yang salah dengan bapaknya, ia lantas duduk kembali ke kursi yang ia duduki tadi.
“Kreteknya, kembalikan...”
“Oh, kukira bapak ngalamun...”
Gareng terkekeh, lalu berdiri lagi meletakkan kretek milik bapaknya yang sengaja ia bawa. “Hampir saja berhasil. Lha aku kehabisan udud e pak.” Kata Gareng dengan berat hati setelah meletekkan bungkus kretek. “Seandainya bapak ngalamun, sudah pasti aku dapat kretek ini.” Ucap Gareng sambil duduk di kursinya yang tadi.
Kepala Gareng sepenuhnya berkonsentrasi pada setiap hisap kretek. Sejak tadi Gareng merasa ada sesuatu yang aneh di tiap hisapannya, namun ia tidak tahu apa. “Aneh banget. Pak, kreteknya kok penak tenan?” Gareng terpaksa bertanya pada Lurah Badranaya karena menyerah mencari tahu apa yang membuat kretek itu terasa nikmat.
“Itu kretek langka, Reng. Ndak ada yang jual.” Kata Lurah Badranaya sembari tetap menatap Orion. Nadanya terdengar sombong.
“Langka? Ndak ada yang jual? Bajigur! Kalimat bapak bertentangan lho!” Tukas Gareng dengan nada ketus. Dia merasa heran dengan bapaknya yang sering sekali membuat statement yang bertentangan di setiap ucapannya.
Di sela perbincangan, semilir angin dihembuskan para makhluk gaib dari pucuk Merapi. Hawa dingin menggetarkan tulang. Menggemeretakkan gigi. Dedaunan yang meranggas saling bergesekan, menimbulkan bebunyian. Sekumpulan pohon bambu berdecit-decit. Gareng mengatupkan tubuh, menekuk lutut dan tangannya, dengan mulut menggigit ujung kretek.
“Kretek itu bapak dapat dari eyang putrimu.” Kata Lurah Badranaya memecah kesunyian.
“Eyang putri? Eyang putri yang mana, pak?”
Lurah Badranaya seketika menoleh ke arah Gareng. Matanya melotot agak merah memandang Gareng yang tengah nyekukruk, serupa pakian kotor terlipat. “Wong edan! Sama eyang putrinya sendiri lupa?! Sama Biyung Pertiwi lupa?”