“Sudah berapa tahun hujan tidak turun? Hujan tidak turun bertahun-tahun.”
Melalui pertanyaan dan pernyataan itu, Lurah Badranaya mengawali pembicaraan. Entah sejak kapan, Lurah Badranaya sudah menyalakan kretek lagi.
Gareng duduk di kursi sebelah lincak. Petruk tetap berdiri. Sedangkan Bagong duduk di atas tanah. Tiga putra Lurah Badranaya tenggelam dalam kelamnya pertanyaan. Meski ada peraturan desa yang ditetapkan Lurah Badranaya untuk melarang warga Madyapura membicarakan tentang hujan, nampaknya peraturan tersebut tidak berlaku semata-mata bagi yang membikin peraturan.
Larangan membicarakan hujan bukan sekadar larangan biasa. Lurah Badranaya sudah memperkirakan sejak situasi krisis hendak terjadi, bahwa dengan mengingat hujan hanya akan mengundang kesedihan. Larangan itu telah diterima oleh warga desa, meski pada kenyataannya tidak akan pernah ada orang yang tahu apa yang sedang dirindukan orang lain.
Entah hujan, entah aliran sungai, ataukah rentet kenangan yang mengiringinya. Apabila ada warga yang menerabas larangan tersebut, maka warga yang bersangkutan harus bertanggung jawab mencari sumber air baru setiap waktu Subuh selama tujuh hari penuh.
Semua warga Madyapura pernah menerima akibat dari kelalaian mereka karena memperbincangkan hujan. Termasuk, Gareng, Petruk, dan Bagong. Bahkan Lurah Badranaya juga pernah menerima konsekuensinya, bedanya, karena yang melanggar larangan adalah lurah desa sendiri, maka banyak pembicaraan busuk yang terjadi selanjutnya. Warga menaruh rasa tidak percaya dan kecewa yang teramat besar kepada Lurah Badranaya. Pada waktu itu hingga saat ini. U
Mereka berempat saling berdiam diri, diselimuti kegelapan malam dengan remang cahaya api kecil dari tiga ublik yang menempel di dinding dan tiang rumah. Sepoi angin malam menggetarkan tulang.
---
Ketika mengingat hujan, Gareng seketika teringat pada momen-momen bersantai yang kerap dijalaninya. Dulu, sebelum hujan tidak berkunjung lagi membasahi tanah, Gareng sering menghabiskan waktu setiap siang di papringan dekat sungai.
Di tempat itu, Gareng sudah menyediakan lincak, lengkap dengan atap bambu, yang ia beli dari seorang pengrajin bambu desa sebelah. Sewaktu dhuhur bergeser, Gareng berkunjung ke papringan dekat sungai, dari rumah ia membawa bekal satu bungkus kretek dan termos air panas untuk membuat kopi sachet. Tidak lupa, Gareng juga sudah mengisi daya baterai hapenya hingga penuh untuk mendengarkan lagu campursari.
Hampir seluruh warga desa Madyapura hafal kebiasaan Gareng, setiap mereka lewat papringan, mereka biasanya berhenti sejenak, bercakap dengan Gareng. Di antara banyak orang yang lewat, yang paling hafal dengan Gareng adalah para pemancing. Oleh karena kebiasaannya tersebut, Gareng bahkan mendapat julukan Sunan Pring dari warga desa.
“Kamu itu mirip Sunan Kalijaga saja.” Kata seorang warga desa Madyapura yang juga seorang pecinta mancing suatu ketika.