Kisruh Kahyangan

Gombalamoh
Chapter #4

Pupuh 3 B

Itulah kenangan Petruk pada hujan yang sudah tidak datang. Mungkin, di malam itu, karena ditanya bapaknya, ia mendadak teringat pada Laili beserta semua perbuatan usilnya. Akan tetapi, di waktu yang bersamaan, Petruk juga merasa rindu. Bermain sepak bola, dan berenang di sungai saat hujan. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari itu.

Seandainya hujan masih turun secara rutin, Laili mungkin saja masih hidup dan menjadi lebih akrab dengan Petruk. Sayangnya, Laili telah meregang nyawa karena terserang wabah. Petruk sendiri yang menggali kuburannya. Tak terasa, ada titik air mata di pipi Petruk.

“Jadi, sudah berapa tahun, hujan tidak turun?” Tanya Lurah Badranaya sekali lagi pada ketiga anaknya. Memecah lamunan begitu saja.

“Aku ingat kedamaian di saat hujan.” Kata Gareng

“Aku ingat kegembiraan di saat hujan.” Ujar Petruk menabambahi

“Tapi....” Bagong mulai menyela, “Kami tidak ingat kapan persisnya!”

Petruk menaruh curiga terhadap pernyataan Bagong. Nampaknya ada yang ganjil. Menurut Petruk, harusnya Bagong mengungkapkan perasaan yang ia alami tatkala hujan turun, kalau semisal dia memang lupa kapan persisnya hujan turun. Petruk berbisik pada Petruk. “Memangnya, kamu memikirkan apa saat ditanya bapak tadi?”

Bagong menelan ludah. Sementara itu, Gareng menajamkan telinga pada percakapan kedua adiknya. Lurah Badranaya tidak memperhatikan, ia malah fokus menatap bintang-bintang redup yang tersebar di angkasa. 

“Anu... Anu...” Kata Bagong dengan terputus-putus.

“Jawab yang jelas!” Ucap Petruk sembari tetap berbisik.

“Hehehe... Tadi yang kubayangkan....” Bagong mulai menguraikan jawaban.

---

Semua peristiwa yang terjadi ketika hujan turun selalu menjadi yang tak terlupakan, begitu yang dipikirkan Bagong, apalagi peristiwa yang terjadi pertama kali bersamaan dengan rerintik suara hujan. Bagong lupa kapan terjadinya peristiwa itu. Adapun yang tergambar dalam ingatannya sekadar gubuk di tengah sawah. Tepat tatkala di tengah deras hujan yang rintiknya terhempas angin membasahi alas gubuk. 

Waktu itu, sepulang sekolah, Bagong mengayuh sepeda. Mendung sudah berkumpul sejak pagi, Bagong khawatir terjebak hujan, terlebih dia sendiri lupa membawa jas hujan. Ia memutuskan mengambil jalan pintas, yakni dengan melewati pematang sawah. Memang jalannya tidak semulus jalan utama, namun medan buruk yang ada di pematang sawah dapat memangkas setengah jam perjalanan pulang dari sekolah. Di tengah jalan pulang, gerimis mulai berjatuhan. 

Bagong menekan pedal kuat-kuat. Tubuhnya condong ke depan. Konon, tubuh yang condong ke depan sewaktu mengayuh sepeda bisa meningkatkan kecepatan. Bagong sudah hafal medan jalan pematang sawah. Setiap lobang dan genangan sudah tertanam di kepala. Begitu mudah Bagong melewati rintangan jalan. 

Saat sedang fokus menatap jalan, dari kejauhan Bagong melihat seorang wanita sedang menuntun sepeda di tengah guyur gerimis. Lamat-lamat akhirnya terlihat, Bagong menebak, mungkin yang menuntun sepeda adalah teman sekelasnya, Esthi. Sebab, rambut pendek yang ditahan bahu bidang seperti itu hanya milik Esthi seorang. Dari caranya berjalan pun sudah kelihatan.

“Esthi?!” Bagong memanggilnya ketika sudah mulai dekat. Untuk memastikan, apakah yang ia lihat memang Esthi atau bukan. Karena tidak ada tanggapan, Bagong mengulang lagi panggilannya, “Esthi?!!”

Wanita itu menoleh ke sumber suara Bagong yang ada di belakangnya. Saat menoleh, dugaan Bagong terbukti benar, dia adalah Esthi. “Bagong?” Esthi keheranan melihat Bagong yang sudah mengayuh sepeda dengan pelan di samping.

“Kenapa, Es?” Tanya Bagong.

Ditanya seperti itu, Esthi malah membisu. Ia tetap diam sambil menuntun sepeda perlahan. Bagong turun dari sepeda, ikut menuntun sepedanya. “Mangkane, jangan suka ngece cowok. Hahaha...” Ejek Bagong pada Esthi. Bagong masih ingat betul, bahwa Esthi adalah wanita di kelas yang paling gemar menghina kaum lelaki. Bagi Esthi, tidak ada yang lebih menjijikkan daripada bau keringat laki-laki. 

Menurut Esthi, bau laki-laki harusnya tidak diciptakan Tuhan. Aroma lelaki hanya membuat buruk suasana. Oleh karenanya, hampir setiap jam pelajaran olahraga, Esthi selalu menolak jika mendapat satu tim dengan seorang lelaki. Akibat hal itu juga, Esthi belum pernah berpacaran, padahal ia memiliki tubuh yang indah beserta paras yang cantik. Sayang sekali, setiap didekati lelaki, Esthi selalu bereaksi dengan melancarkan tendangan silat!

Lihat selengkapnya