Serejang Rindu yang Tak Kunjung Reda

Hadis Mevlana
Chapter #1

Serejang Rindu yang Tak Kunjung Reda

Di sudut malam yang begitu sepi, aku duduk sendiri, menatap bulan yang sabar menggantung di langit. Cahayanya temaram, seolah-olah ia mengerti betapa rapuh hati ini saat dihadapkan dengan kesendirian. Angin malam yang lembut perlahan mengusap wajahku, membawa aroma kenangan yang terasa kian tajam, menyelinap ke dalam relung hati, menyulut kembali sesal yang telah lama terpendam.

Aku mengingat kembali, betapa banyak waktu yang terbuang ketika kita masih bersama. Dulu, aku pikir kita punya cukup waktu. Tapi siapa sangka, waktu bisa serejang itu memisahkan kita? Serejang, begitu cepat, bagai ombak kecil yang menyapu pasir, meninggalkan jejak yang tak sempat kuabadikan.

Sepotong masa, sepotong waktu yang seolah belum sempat kuberikan padamu. Waktu yang seharusnya menjadi milik kita berdua, tapi aku lewatkan begitu saja, seakan akan selalu ada esok untuk memberi perhatian dan cinta yang lebih tulus.

“Mengapa dulu aku selalu menunda-nunda begitu banyak hal?” gumamku pelan dengan suara yang hanya dihadapkan pada sunyi dan rembulan.

Bayangan wajahmu masih jelas di pelupuk mata; senyummu, caramu memanggil namaku dengan suara lembut, semuanya seolah hadir begitu nyata dan dekat. Tapi saat ini, semua itu hanya sekadar potongan kenangan yang tak bisa lagi kuraih. Smua itu hanya sekadar bayangan yang tak mungkin lagi kujemput. Seakan-akan rembulan yang menggantung di langit pun mengerti, menemaniku dalam kerinduan yang tak mampu kusampaikan.

"Banyak hal yang belum sempat kita lakukan bersama," batinku, menggenggam erat kenangan yang tersisa, berusaha menyimpannya di relung terdalam.

"Ah, seandainya aku bisa mengulang waktu…" gumamku lagi, mengingat betapa banyak hal yang belum sempat kita lakukan bersama.

Andai waktu bisa kembali, walau serejang sekalipun, aku ingin ada di sisimu. Aku ingin menebus semuanya.  Aku ingin menghabiskan waktu bersama dalam tiap langkah, tanpa ada lagi janji-janji yang tak pernah terpenuhi. Aku ingin mencintaimu dengan sungguh-sungguh, tanpa ada sekat, tanpa ada kata "nanti." Aku ingin menjadikan setiap detik berharga, tak sekadar mengenang semua yang sekarang hanya bisa kulihat di balik jendela kenangan. Tapi, sayangnya, kini hanya rasa kehilangan yang tersisa, kenangan yang membekas tanpa mampu kulukis kembali. Aku baru sadar, mungkin waktu tidak pernah berjanji untuk menunggu kita. Aku hanya bisa menggenggam sisa-sisa ingatanmu, sambil berdoa dalam hati agar kau tahu, betapa kepergianmu terasa begitu serejang.

Lihat selengkapnya