Senja perlahan memeluk langit di atas sungai itu, menebarkan rona jingga yang berkilauan di permukaan air. Aku duduk sendirian di tepi sungai, ditemani gemerisik angin sore yang meniup lembut dedaunan di sekitarku. Langit pun berubah. Dari biru ke jingga. Lalu, memudar menjadi keunguan. Aku terpegun menatap kilauan matahari yang semakin tenggelam seraya mengingat semua tentangmu yang masih setia menghuni pikiranku.
“Ribuan hari berlalu, tapi bayangmu tak pernah pergi…” bisikku pelan, seolah aku berbicara dengan sisa-sisa dirimu yang bersembunyi di setiap sudut ingatan. Aku tahu waktu terus beranjak, tapi rasanya hidupku berhenti sejak kau pergi. Berantakan. Aku seperti serpihan kaca yang jatuh, pecah, dan tak akan pernah utuh lagi. Terlalu rapuh untuk dipungut kembali. Berserakan tanpa arah.
Setelah kehilanganmu, setiap langkahku tetap saja pincang. Kehidupanku yang dulu cerah kini seolah cawan retak dalam ribuan keping yang entah kapan akan kembali utuh. Setiap hela napasku terasa seperti patah. Waktu seolah tak lagi berjalan dengan wajar. Setiap hari terus mengulang rasa yang sama, kerinduan yang tak kunjung pudar.
Setiap malam, aku bergulat dengan kenangan. Detik demi detik tentangmu tak kunjung pudar. Iingatan-ingatan bersamamu terus menjeratku seperti simpul erat. Terkadang, aku merasa dunia sepi tanpa kehadiranmu. Waktu tetap berjalan, tapi setiap detik terasa panjang dan berat. Di hati, ada luka yang belum sembuh, seolah kau meninggalkan ruang kosong yang terlalu luas untuk kutempati sendirian.
"Kehilangan seseorang itu bukan hanya tentang merelakannya pergi, tapi juga belajar untuk hidup dengan ruang kosong yang mereka tinggalkan." Sebuah kalimat bijak yang pernah kita dengar bersama. Kau masih ingat kan?
Aku mencoba bertahan, berusaha mencari diri yang dulu, sebelum aku mengenalmu. Namun, ada luka yang terlalu dalam untuk sembuh, ada rindu yang terlalu kuat untuk dilupakan.
Aku menatap senja yang perlahan tenggelam, membayangkan suaramu yang lembut, wajahmu yang teduh. “Kenapa kau pergi begitu cepat?” tanyaku dalam hatii, meski aku tahu tak akan ada jawaban. Aku berusahamencoba berdamai dengan kenyataan yang terasa getir. Mungkin jika kau masih di sini, aku bisa merasakan hangatnya kehadiranmu. Tapi sekarang, hanya bayangmu yang menemani, dan rasa rindu yang terus membanjiri hatiku.
Mungkin jika kau ada di sini, aku bisa bertanya langsung, memelukmu dalam hangatnya senja ini. Tapi senja berlalu tanpa jawaban, dan aku hanya ditemani rasa rindu yang semakin menyelimutiku.
Seolah aliran sungai ini membawa cerita-cerita kita, aku terseret dalam kenangan yang dulu kita lalui bersama. “Ah… jika saja kita punya waktu lebih lama. Mungkin semua akan lebih mudah,” gumamku, membiarkan angin menjawab dengan bisikan lembutnya.
Setiap detik terasa bagai serpihan kecil, penuh dengan cerita yang hanya dapat kujalani bersama bayangmu. “Seharusnya… kita punya lebih banyak waktu, lebih banyak kenangan,” gumamku, seakan mencari jawaban dari angin yang berembus lirih.
Saat aku memejamkan mata, ingatan kembali menyuguhkan momen-momen itu—tawa, canda, semua yang mengisi sore kita di tempat ini. Tapi sekarang, hanya ada sunyi yang menyelimutiku, seakan alam pun ikut berkabung atas kepergianmu. Di dalam hati, aku tahu, ada hal-hal yang takkan bisa dilupakan, meski waktu terus berjalan.