Serejang Rindu yang Tak Kunjung Reda

Hadis Mevlana
Chapter #3

Langit yang Melangut


Senja menjelang, dan awan kelabu menggelayut berat di langit. Angin sore menyibak rambutku, membawa aroma tanah yang sudah lama tak dijamah hujan. Aku menatap langit yang melangut, seraya mengingat seseorang yang, hingga detik ini, masih begitu lekat dalam hatiku. Aku pikir aku bisa berpura-pura kuat, berlagak seolah semua baik-baik saja. Tapi kenyataannya, aku tak pernah sanggup melupakan setiap kenangan yang pernah terukir bersama dia.

“Kenapa kamu pergi?” tanyaku pada langit yang semakin pekat. Dalam rintik yang semakin deras, dadaku terasa sesak, semua tanya dan rindu mengalir tak terbendung. Aku berjalan perlahan, langkahku menapaki jalan setapak basah di tengah rintik hujan. Kubiarkan airnya membasahi wajah, seolah alam mengerti keresahanku. Dingin. Semua ini mengingatkanku padanya. Pada senyumnya, tatapan matanya yang teduh, dan suara lembut yang selalu menenangkan. Namun, kini semua hanya tinggal kenangan. Dia tak lagi ada di sini.

Langkah kakiku pelan menyusuri jalan sepi, membiarkan pikiranku tenggelam dalam rindu yang entah kapan akan berakhir. Aku berusaha keras menekan perasaan ini, menyembunyikannya dalam-dalam di balik senyum yang kutunjukkan pada dunia. “Aku baik-baik saja,” ucapku pada diri sendiri, sebuah kebohongan yang sudah berulang kali kusampaikan demi menghindari tatapan prihatin orang lain.

Namun, sore itu, alam seakan mengerti perasaanku. Langit perlahan pecah, dan butiran hujan mulai turun satu-satu, menetes perlahan di atas dedaunan. Bunyi rintiknya terdengar halus bernada sendu. Di bawah derasnya hujan, aku menengadah, membiarkan rintik-rintik itu membasahi wajahku. Tetesan hujan dan air mata berpadu, sulit dibedakan. Aku merasakan air itu jatuh di wajahku, mengalir, bercampur dengan rasa hangat dari ujung mata yang tak lagi sanggup kutahan. Rasa rindu yang kupendam tak terbendung lagi. Suaranya, senyumnya, setiap kenangan akan dirinya menyesak di dada. Aku tak sanggup lagi berpura-pura kuat.

Aku mendekap dadaku yang terasa sesak. "Mengapa harus seberat ini?" gumamku pelan, akan tetapi hujan yang deras membuat suaraku tenggelam, lenyap seiring gemuruh air yang turun semakin deras.

Kupaksakan diriku untuk tetap tegar. Sesulit apa pun, aku ingin orang-orang melihatku baik-baik saja. Tidak ada yang perlu tahu betapa aku merasa kehilangan. Di hadapan mereka, aku berpura-pura kuat, menahan segala perih dan pedih yang mendesak di dada.

Aku merasakan sesuatu pecah dalam diriku. Tiba-tiba, tangisku tumpah begitu saja, air mata yang sejak lama kutahan akhirnya luruh. Aku membiarkan semuanya mengalir, bersatu dengan hujan, membiarkan setiap desah rindu dan setiap kenangan yang masih terasa begitu nyata. Aku menangis sejadi-jadinya, tanpa perlu khawatir akan dilihat atau didengar orang lain. Hanya aku dan hujan yang tahu, bahwa aku sedang menyeka luka yang selama ini kubiarkan tersembunyi.

Lihat selengkapnya