"Menjeling waktu yang hilang, seperti melirik kenangan yang tak bisa disentuh lagi. Hanya sisa penyesalan yang mengingatkan kita betapa berharganya momen-momen sederhana yang dulu tak pernah kita sadari."
Aku duduk di teras rumah saat senja mulai turun, merasakan semilir angin senja yang begitu lembut mengusap wajah. Matahari mulai merendah di ufuk barat, mewarnai langit dengan semburat jingga yang tenang seolah memeluk semesta dalam cahayanya yang lembut dan temaram. Di hadapanku, halaman rumah kecil ini terasa hampa. Tidak ada lagi riang tawa yang dulu mengisi setiap sudut. Hanya bayangan pepohonan yang menjeling ke arahku, seolah ikut mengingatkan tentang semua yang pernah aku abaikan.
Ada perasaan aneh, sebuah rindu yang membuncah dan menyesakkan. Udara yang berembus terasa hening, menyusup lembut ke dalam jiwa, menggerakkan kenangan yang tersimpan dalam hatiku, kenangan tentang sosok yang dulu selalu ada di sampingku.
Kudapati diriku menjeling ke arah pintu ruang tamu. Di sanalah dia sering duduk, tertawa lepas, menungguku pulang dengan wajah penuh harap. Aku terdiam sejenak, merasakan kekosongan yang mengalir dari waktu-waktu yang tak dapat terulang. Dulu, betapa sering aku mengabaikannya. "Nanti saja," kataku dalam hati setiap kali dia meminta bermain bersama. Aku terlalu letih, terlalu sibuk dengan rutinitas, dan lebih memilih beristirahat.
Dulu, setiap sore, ia akan memintaku bermain. Terkadang menggandeng tanganku, menarikku untuk ikut berlari, tertawa, mengejar bayangan satu sama lain di bawah sinar matahari yang perlahan tenggelam. Namun, seringnya aku menolak, hanya tersenyum tipis sambil menggeleng, “Nanti saja, Nak. Ayah lelah.” Aku selalu beralasan.
“Terlalu sibuk dengan dunia, aku lupa akan makna kehadiranmu.” Kuucapkan kalimat itu lirih, seperti pengakuan yang terlambat, tetapi tak sanggup kutahan.
Dengan penuh penyesalan, kuingat bagaimana aku hanya menjeling sesaat ke arahmu, mengabaikan harapan kecilmu untuk ditemani. Aku terlalu sibuk menganggap bahwa kehadiranmu akan selalu ada. Tapi kini, setelah kau pergi, kesunyian ini mengiris jauh ke dalam dada.
Sekarang, aku di sini, duduk sendirian dengan rasa kosong yang tak mampu kujelaskan. Ada suara di dalam diri ini yang selalu mengingatkan, "Kenapa dulu tak kau nikmati waktu-waktu itu, kenapa kau abaikan senyumnya, permintaannya?"
Senja ini, aku kembali merasakan hadirmu. Aku rindu suara tawa itu, rindu permainan sederhana yang dulu kuanggap sepele. Dulu, aku pikir akan ada banyak waktu. Tak kusadari bahwa waktu adalah misteri yang tak selalu menyisakan ruang bagi kita untuk menebus penyesalan.