"Mengikhlaskan bukan tentang melupakan, tapi menyimpan kenangan di tempat yang tenang, agar kita bisa melangkah maju tanpa terbebani bayangan masa lalu."
Pagi itu, aku terpegun memandangi tempat kosong di sebelahku, yang dulunya selalu ditempati oleh kehangatan dan tawa. Sejak dia pergi begitu tiba-tiba, rasanya aku kehilangan arah. Hari-hariku terasa hampa, penuh penyesalan yang menghantam tanpa henti.
Hari itu tiba-tiba saja segalanya berubah. Seperti angin yang tiba-tiba mengempas pintu, membuat segalanya bergetar dan kemudian sunyi. Begitulah semuanya terjadi. Dia pergi begitu mendadak, seolah waktu mempermainkan kami. Rasanya baru kemarin kami tertawa bersama, bercerita panjang lebar tentang hal-hal kecil yang bahkan mungkin tak penting bagi orang lain, tapi bagiku... itu sangat berharga.
Aku terpegun, masih tak percaya bahwa dia benar-benar tak ada lagi di sini. Kehilangan dan penyesalan, bercampur di dadaku. Semua kenangan berputar bagai film lama, mengingatkanku pada wajahnya, senyumnya, setiap kata yang pernah dia ucapkan. Sering kali, kutatap kursi di sudut ruangan tempatnya biasa duduk sambil tersenyum kepadaku. Hampa. Yang ada hanya bayangan samar, dan aku sadar betapa sedikitnya waktu yang telah kuberikan untuknya. Jika saja aku tahu dia akan pergi secepat itu... aku tak akan membiarkan satu pun detik berlalu tanpa ungkapan cinta dan sayang yang penuh.
"Seandainya aku tahu," gumamku pelan, menatap langit biru yang terasa kosong. "Aku tak akan pernah sia-siakan waktu bersamamu. Aku akan setiap saat mengingatkanmu betapa kau berarti."
Jika saja aku tahu dia akan pergi secepat itu, mungkin aku akan mencintainya lebih gila-gilaan. Setiap detik, setiap waktu, akan kuisi dengan kata-kata sayang yang tak bertepi. Andai saja aku tahu... Tapi, waktu tak pernah memberi jeda untuk kata “andai.”
"Kenapa harus secepat ini?" tanyaku pada kesunyian yang melingkupiku. Tak ada jawaban, hanya suara detak jam yang terus mengingatkanku pada waktu yang tak pernah menunggu.