Serejang Rindu yang Tak Kunjung Reda

Hadis Mevlana
Chapter #6

Rindu yang Tertitip di Mimpi

"Seperti daun kering yang setia pada ranting rapuh, aku menunggu—menanti angin membawa kabar yang entah kapan tiba. Rindu ini tak pernah surut, menyelimuti setiap malam dalam bisikan yang memanggilmu, meski bayangmu hanya datang dalam mimpi."

 

Sudah bertahun-tahun aku menunggu, seperti daun kering yang bersandar pada ranting rapuh, berharap angin akan datang membawa kabar. Hari-hari kuhabiskan dengan mencarinya ke segala penjuru, mengetuk setiap pintu, menelusuri jejak-jejak samar yang dulu pernah dia tinggalkan. Namun hasilnya selalu sama: kosong. Hanya sepi yang kembali, membungkusku dalam rindu yang menggumpal.

Malam-malamku tak pernah sepi dari bayangannya. Sosoknya kerap datang dalam mimpiku, seperti bayang yang samar namun terasa nyata. Dia hadir dengan senyumnya yang dulu, dan dalam mimpiku, kami bercengkrama seperti dulu, meriung dalam kebahagiaan yang sederhana. Di sana, dia tertawa, aku juga tertawa—seakan tak ada perpisahan yang pernah terjadi.

Aku masih menunggu, meski waktu terus melaju tanpa belas kasihan. Sudah kucari ke sana kemari, menembus batas yang kadang samar di antara mimpi dan kenyataan. Rasa rinduku kerap mampir dalam mimpi-mimpi panjang, membawaku kembali ke sosok terakhir yang kuingat darimu. Mimpi-mimpi itu begitu nyata—seakan kau ada di sampingku, tersenyum seperti dulu, meriung dalam kebersamaan yang tak terulang.

“Kau di mana?” tanyaku dalam mimpi yang datang lagi malam itu. Kau hanya tersenyum samar, tatapanmu seakan penuh teka-teki.

"Apakah aku benar-benar ada di sini, atau hanya ilusi lagi?" tanyamu tiba-tiba, suaramu seakan mengusik keyakinanku sendiri.

Aku terdiam, menatapmu lekat-lekat, mencoba menghirup aroma yang kukenali dan mendengar suaramu yang begitu lekat di hati. Namun, semakin kucoba meraihmu, semakin kau terasa jauh. Seiring berlalunya malam, kurasa aku mulai paham—semua ini hanya mimpi, lagi dan lagi.

“Kau tahu, aku rindu…” lirihku, mencoba menjelaskan rindu yang tak lagi terbendung. “Rindu melihatmu, bercanda denganmu, dan meriung dalam tawa-tawa kecil yang dulu sering kita bagi.”

Wajahmu tetap tenang, seakan memahami setiap kata yang kuucapkan. Tapi, kau hanya menatap, tanpa balasan, membuatku terhanyut dalam kekosongan mimpi yang semakin samar. Begitu banyak yang ingin kutanyakan—apakah kau masih di sini, di dunia ini, ataukah telah pergi lebih dulu? Setelah berpuluh tahun berlalu, aku bahkan tak tahu bagaimana kau sekarang; apakah tinggi badanmu masih sama, seberapa indah parasmu, atau seberapa fasih lagi kau bicara.

“Apa kau akan kembali?” tanyaku lagi, meski hatiku tahu tak ada jawaban pasti.

Lihat selengkapnya