Hal yang lumrah bagi barisan kakak kelas di Sekolah Menengah Atas untuk membuat daftar incaran gebetan dari adik kelas yang baru masuk di kala Masa Orientasi Siswa. Tidak sedikit yang pada akhirnya mencoba peruntungan seleksi panitia MOS meskipun ia bukanlah orang yang aktif. Syukur-syukur bisa menjadi seksi konsumsi atau petugas medis, paling tidak ada kesempatan lebih dulu untuk pendekatan dengan adik kelas.
Panitia MOS memang memiliki privilege tertentu pada proses itu. Mereka tidak hanya menemani siswa baru sejak awal, tetapi juga mendampingi siswa selama MOS. Satu langkah terdepan akan memberikan impact yang lebih dalam. Meskipun wajah tidak tampan, tapi bermodalkan kebaikan hati selama MOS, maka pesona kakak kelas lain yang tidak ikut panitia tak akan dipedulikan. Sekuat itu privilege panitia MOS yang ada di pikiran para siswa. Tak terkecuali Rio.
Meskipun pernah membantu kepanitiaan sebelumnya di bagian perlengkapan ekstrakurikuler teater, Rio bukanlah siapa-siapa. Ia bukanlah anggota OSIS yang pandai berbicara di depan umum, maupun anak pecinta alam yang punya sifat petualang. Rio hanyalah seorang siswa dengan kecerdasan biasa-biasa saja di kelasnya. Tidak terlalu bodoh, juga tidak terlalu pintar. Ia berteman dengan siapa saja, tapi tidak terlalu mencolok. Biasa saja.
“Rio, lo mau ikut seleksi panitia ini nggak?” ujar Seno, teman sebangkunya. Mereka berdua sama-sama sedang melihat pengumuman seleksi panitia MOS yang disebarkan di whatsapp grup angkatan.
“Kayaknya sih gitu, Sen,” ujar Rio cengengesan.
“Tumben lo ikutan gini-ginian, dapet hidayah apa lo semalem?”
“Iseng aja, lumayan bisa buat isi CV di masa depan.”
“Kayak lo mikirin masa depan lo baek-baek aja.”
“Kan lumayan Sen, pengalaman itu penting kata pak Budi, guru sejarah itu.”
“Bodo amat, gue lebih tertarik ngeliatin bocah-bocah SMP yang baru masuk sekolah kita itu.”
“Jadi, lo daftar juga?”
“Iyalah, kalo lo aja daftar, kenapa gue enggak?”
Perbincangan itu diakhiri dengan tawa mereka yang terbahak-bahak. Bukan rahasia umum kalau Seno adalah pemegang peringkat hamper terakhir di SMA mereka. Bersanding dengan Deni di kelas IPS, mereka hampir selalu bersaing memperebutkan peringkat bawah. Suasana kelas mereka memang sedang riuh karena pengumuman seleksi panitia MOS. Banyak siswa yang berusaha menjadi panitia MOS demi eksistensi masa muda mereka. Panitia penyeleksi juga bersemangat melihat antusiasme yang besar di sekolah mereka. Hanya saja, mereka tidak menduga ada dua makhluk ‘biasa-biasa’saja yang akan ikut mendaftar.
Entah karena keberuntungan atau belas kasihan dari panitia penyeleksi, akhirnya Seno dan Rio diterima sebagai panitia. Mereka bertugas di seksi konsumsi semi perlengkapan karena harus mengangkut kotak-kotak makanan itu ke kelas-kelas di setiap acara. Tidak ada yang protes atas keputusan panitia penyeleksi yang meloloskan dua siswa yang tergolong ‘tak terlihat’ di sekolahnya itu. Toh, pekerjaan mereka dirasa para siswa lain tidak akan berpengaruh pada nilai ‘eksistensi’ yang dijunjung anak muda jaman sekarang.
***
Barisan siswa-siswi baru mulai memasuki kelas satu persatu. Mereka baru saja selesai mendengarkan sambutan dari kepala sekolah. Rio yang sedang berdiri di depan kelas X-C membagikan snack kepada mereka. Tidak ada firasat apapun saat ada suara merdu yang menyapanya.
“Terimakasih, Kak Rio,” ujar suara itu. Rio yang sedari tadi hanya menatap kotak snack yang ia bagikan mendongak ke arah wajah pemilik suara yang menyapanya. Ia menemukan wajah manis dengan lesung pipit di pipinya. Kulitnya putih langsat, rambut hitam diikat kuda dihias bandana kuning di atasnya. Ia menggunakan atribut MOS di seragam putih biru yang ia kenakan. Ada nama ‘HELDA SAFIRA’ di name tag nya. “Eh, iya, sama-sama,” balas Rio. Ia tidak merasa sudah berkenalan dengan siswi baru itu. Ia tidak berpikir terlalu jauh bagaimana siswi itu bisa mengetahui namanya. Manis juga, batinnya.
Kegiatan MOS hari pertama terlaksana dengan lancar. Akhirnya setelah seharian berkegiatan di bagian yang berbeda, akhirnya Rio dan Seno bertemu di ruang evaluasi harian panitia. Mereka terduduk kelelahan di lantai bagian belakang ruang. Keringat masih tampak di pelipis dahi mereka setelah seharian berlarian mengurus konsumsi tiga kelas masing-masing, Bersandarkan dinding ruangan, mereka meminum teh botol dingin yang sudah disediakan, oleh mereka sendiri sebagai seksi konsumsi. Di bagian depan ruangan, ketua panitia dan jajarannya mulai melaksanakan evaluasi. Awalnya mereka masih fokus mengikuti sampai di pertengahan evaluasi, beberapa panitia di bagian belakang sudah mulai sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
“Gimana Yo? Kelas lo aman tadi?” tanya Seno.
“Aman, paling cuma masalah kurang minuman. Udah gue laporin ke Bang Argo tuh,” jawab Rio sambil menunjuk kakak kelasnya, Argo, yang menjadi koordinator konsumsi kegiatan MOS.
“Lo ketemu yang bening-bening nggak? Kasih tau gue lah.”