“Oi, tugas nya tar ditumpuk di depan ya, tar gue bawa ke meja Pak Anjar pas istirahat siang!” teriak Krisna yang menjadi Ketua Kelas XI IPA 2. Pelajaran Fisika hari ini kosong dan digantikan dengan tugas yang diharapkan bisa selesai sebelum istirahat siang. Barisan para siswa terpelajar nampak langsung mengerjakan. Beberapa meja di sekitarnya diisi oleh para siswa yang berusaha mengerjakan meskipun belum maksimal. Sisanya, menanti kertas jawaban yang sudah terisi lengkap yang kemudian akan ditiru dan dikumpulkan.
Seno termasuk dalam golongan yang terakhir. Ia masih bermain mobile legend di tempat duduknya. Baginya, menulis ulang jawaban teman-temannya yang pintar bisa ia lakukan dalam waktu sepuluh menit saja sebelum Krisna membawa tugas itu ditumpuk ke meja Pak Anjar.
“Rio, tar bareng ya ngerjainnya, kita pinjem tugasnya si Tono ato Ria aja. Tulisannya gampang dibaca, tar lo minta kertas tugasnya ya,” kata Seno masih memandang layar telepon genggamnya. Tidak ada jawaban dari orang yang ia ajak bicara. Seno menoleh dan tidak menemukan Rio di kursinya. Celingukan, ia melihat Rio sudah berdiri menunduk di sebelah Ria yang sedang mengerjakan tugasnya. Rio seperti mengerjakan tugas tetapi juga meniru jawaban Ria. Seno keheranan melihat pemandangan itu. Ia memasukkan telepon genggam ke saku dan berjalan ke arah Rio.
“Lo ngapain?” tanya Seno. Rio menoleh dan kembali ke kertasnya lagi yang bertumpukan dengan kertas Ria.
“Ngerjain lah.”
“Lah kan nunggu Ria juga bisa.”
“Tar siang gue ijin cabut.”
“Ngapain?”
“Ada food test buat vendor acara sepeda gembira.”
“Ih, enak amat, gue ikut yak?”
“Tar gue sama Helda, Sen. Panitia sepeda gembira juga. Lo garap juga deh, gampang kok ini kalo lo liat tugas Ria.”
“Hm, tar deh gue nunggu lo kelar aja, nanti pinjem tugas lo ya.”
“Terserah,” kata Rio mengakhiri. Seno beringsut kembali ke tempat duduknya. Ada rasa tidak nyaman di perutnya. Ah, gue salah makan kayaknya, ujar Seno dalam hati.
***
Rintik hujan menerpa wajah Rio di atas motornya. Ia mendongak ke atas melihat awan mendung yang tampaknya akan menumpahkan isinya sesaat lagi. Di hadapan Rio, beberapa pengendara motor tampak mulai menepi dan mengambil jas hujan dari joknya. Tidak ada pilihan lain.
“Helda, kita mampir sebentar ya, kayaknya mau hujan, gue nggak bawa jas hujan,” ujarnya pada Helda yang membonceng di belakangnya.
“Iya kak, nggak apa-apa, kayaknya mau hujan deres. Kita berhenti dimana kak?”
“Di toko buku depan sana itu aja, ada café kecil di samping tokonya.”
“Oke, kak, Helda ngikut aja.”
Tepat setelah Rio memarkirkan motornya dan melangkahkan kaki memasuki toko buku, gemuruh suara hujan langsung tumpah di luar toko. Rio dan Helda berpandangan seolah mensyukuri keputusan mereka untuk menunda perjalanan sebentar.
“Helda, gue mau cari buku dulu bentar, kalo lo mau langsung ke kafe nya nggak apa-apa. Itu ada jalan samping kok buat ke kafe, jadi nggak usah mutar depan,” kata Rio memecah kecanggungan diantara mereka. Helda tidak mengindahkan kalimat Rio. Ia sibuk melihat-lihat barisan buku yang dijajarkan rapi sesuai genre-nya.
“Helda lihat-lihat buku dulu aja kak, kali aja ada yang bagus,” jawab Helda. Lagi-lagi Rio menjawab dengan anggukan. Sambil lalu, Rio memperhatikan Helda dari sela-sela rak buku. Kali ini Helda sudah mengenakan putih-abu sebagai seragamnya. Tidak seperti saat MOS, kali ini rambutnya dibiarkan terurai panjang. Sepatu khas MOS yang berwarna hitam sudah berganti dengan sepatu olahraga putih dengan merk ternama. Senada dengan sepatu, tasnya juga berwarna putih gading berhiaskan pom-pom cokelat. Jam tangan kulit melingkari pergelangan tangannya yang mungil. Helda memiliki tinggi badan yang cukup tinggi untuk ukuran anak perempuan SMA seumurannya. Tapi tinggi badannya masih cukup ideal kalau berdampingan denganku sepertinya, khayal Rio.
Setelah Rio merasa cukup dengan observasi yang ia lakukan. Akhirnya ia memutuskan untuk langsung pergi ke kafe saja. Awal basa-basi yang ia utarakan untuk melihat-lihat buku malah diiyakan oleh Helda sehingga ia kebingungan mencari alasan agar mereka tidak harus berbincang berdua.