Kata orang, usia tiga puluh tahun adalah salah satu masa tergalau untuk milenial yang jomblo. Tekanan sosial yang membosankan mendorong mereka untuk memiliki pasangan di rentang usia itu, entah bagaimana caranya. Terkadang ada yang berakhir di pelaminan dan mengatakan bahwa pasangannya adalah jodoh mereka. Ada pula yang berakhir di pelaminan hanya demi orang tua. Dan ada pula yang tidak berakhir dimana-mana meskipun sudah memulai perjalanan seperti Galih dan Ratna.
Bekerja di perantauan membuat definisi cinta lokasi menjadi nyata. Ratna, seorang gadis yang berasal dari Pacitan dan bekerja sebagai seorang ahli finansial di salah satu bank BUMN di pulau Borneo. Meskipun sudah lebih dari tiga tahun ia hidup sendiri dan terhitung sebagai gadis yang mandiri, ia tidak bisa memungkiri rasa cinta yang tumbuh di kala Galih mendekatinya. Galih sendiri adalah rekan kerja di kantor yang sama meskipun bidang mereka berbeda. Awal mulanya pun hanya karena komunitas para perantau mencoba menjodohkan mereka. Berusaha tidak terbawa perasaan, tetapi akhirnya ia jatuh tenggelam juga.
“Ratna, nggak makan?” sapa Dono yang tiba-tiba muncul di kubikel Ratna.
“Makan, tapi nanti, habis nyelesein laporan ini,” jawab Ratna tanpa mengindahkan kehadiran Dono dengan terus menatap layar komputernya.
“Aku mau makan sama Galih, nih, ikut sekalian yuk!” lanjut Dono menggodanya.
“Ciye, si Galih berani juga, pepet teruuus! Ikut aja sih, Na!” ujar Aryo dari kubikel sebelah Ratna. Suara cie-cie juga muncul dari kubikel-kubikel lain. Dari sekian banyak lelaki di kantor ini yang masih berstatus bujangan, Galih memang yang paling banyak dikerjai karena ia cenderung pendiam. Tidak terlalu banyak berbicara, tapi sedikit jumawa karena ia memiliki peran di bagian hukum perbankan.
“Aryo, ayo cepetan kelarin, aku juga kalo ini udah kelar pengen makan siang,” balas Ratna.
“Makan sama aku apa sama Galih?” kata Aryo sambil cekikikan. Tiba-tiba suara pintu terbuka.
“Don, ayo makan,” ujar suara itu diikuti dengan tampilan necis ala pegawai bank. Setelan kemeja berwarna merah tua, dasi warna senada, celana kain warna cokelat tua dan sepatu pantofel. Galih Dian Prakoso tahun ini berusia 30 tahun, meskipun kurus tetapi ia memiliki tubuh yang tinggi. Potongan rambut ia buat cepak dengan belahan pinggir tampak klimis hasil buatan minyak rambut. Kehadirannya membawa harum parfum yang ia gunakan tadi pagi. Sorak sorai serta merta menyambut dan menyuruhnya mengajak Ratna makan siang.
“Galiih, itu Ratna diajakin makan juga dong! Masa cuma sama Doni?!” ujar Aryo. Galih tersenyum simpul mendengar kalimat itu. Ia mencolek Doni yang berdiri di depan kubikel Ratna.
“Don, ayo makan sekarang, keburu rame warungnya,” ujar Galih. Ia lalu melanjutkan sambil menoleh kepada penghuni kubikel di depan Doni, “Ratna mau ikutan makan siang?”
Pertanyaan itu seolah membuat ruangan menggelegar dengan celotehan tawa. Galih ikut tertawa geli bersama Doni. Ratna yang menjadi sasaran empuk memegangi kepalanya sambil tertawa kecil melihat kelakuan rekan-rekan kerjanya. Kepala Aryo mengintip dari kubikel sebelah melalui pembatas.
“Tar aku beresin laporannya, makan siang dulu gih, mumpung ada temen itu. Kamu belum sarapan kan tadi, Na?” ujar Aryo sambil mengedikkan mata ke arah kumpulan cemilan di sebelah komputer Ratna.
“Nanti kalo ditanyain Pak Sugeng gimana?” tanya Ratna.
“Gampang tar aku bilangin kalo kamu udah kelar, tinggal diedit, kan emang udah kamu masukin semua datanya kan? Udah sana!” Aryo kali ini mengusir Ratna dengan tangannya, menunjuk ke arah Doni dan Galih. Keduanya masih berdiri dan berbincang dengan Sandi di depan kubikel Ratna. Ratna menghela nafasnya. Ia membereskan komputer dan peralatannya, sambil memanggil Doni.
“Don, jadi makan?”
“Jadi ikut?”