Seremoni Rasa

Dinda Ratri
Chapter #5

Fase 1 : Intuisi Part.1

Oktober 2019

Berlin, 8PM – Nagoya, 4AM

[Evan : Udah tidur?]

[Sheila : Belum, habis makan ini. Lupa ya kita beda berapa jam?]

[Evan : Kirain aja. Mau ngapain habis ini?]

[Sheila : Ngerjain tugas, Van. Kamu nggak tidur? Nagoya masih dini hari kan?]

[Evan : Nggak apa-apa, aku kangen aja.]

[Sheila : Sama, Van. Besok kita video call aja ya. Sorenya Nagoya.]

[Evan : Besok nggak bisa Sheil, ada acara. Kamu makan apa apa tadi, Sheil?]

[Sheila : Another bread, sausage and saft (jus), as usual. Aku belum beli beras. Ada acara apa?]

[Evan : Then just go grab it? Berlin ga sesedih itu kan sampe nggak jualan beras.]

[Sheila : Lagi males aja, hehe. Udah sana tidur, Van, 4 jam lagi kamu presentasi kan? Besok acara presentasi lagi ya?]

[Sheila : Remember, we’re 8 hours apart. Different times, even day. Istirahat yang cukup, Van. Jangan sakit, tar sore waktu Nagoya telpon ya.

[Evan : Iya. Udah aku bikin kok materinya. Iya, iya, aku tidur lagi. Kamu juga jangan tidur kemaleman ya Sheil. Love you.]

[Sheila : Love you too, Van.]

Maret 2015

Awalnya Evan dan Sheila juga tidak percaya kata orang bahwa tidak mungkin laki-laki dan perempuan bersahabat tanpa ada perasaan apa-apa. Menjalani hari-hari seperti biasa, mengerjakan tugas, saling bertukar catatan, curhat tentang gebetan masing-masing, hingga konflik yang dihadapi dengan keluarga. Mereka seolah paham satu sama lain tanpa perlu berkata apa-apa. Perasaan yang awalnya biasa itu mulai muncul dalam diri mereka saat masing-masing sudah bekerja usai lulus dari masa kuliah. Tidak ada lagi hari-hari lembur dengan tugas maupun nongkrong bolos kuliah. Intensitas kontak yang mulai menurun, lingkungan baru, serta tuntutan pekerjaan menjadikan mereka dewasa di tempat yang berbeda. Hingga akhirnya reuni angkatan mereka mempertemukan mereka lagi di akhir tahun 2015.

“Van, lo parah banget udah lama ga kontak gue!” ujar Sheila. Suaranya beradu dengan musik restoran tempat mereka melakukan reuni. Evan sebenarnya sudah memperhatikan sejak Sheila datang di lokasi. Ia tidak bisa tidak terkejut melihat perbedaan tampilan Sheila yang ia lihat terakhir kali saat wisuda di bulan Maret. Malam itu Sheila mengenakan terusan berwarna hijau beige sampai di bawah lutut, dipadu dengan heels berwarna sama. Rambutnya yang dulu biasa diikat pony tail terurai mulus di bawah pundaknya. Bagaimana mungkin Sheila bisa jadi secantik ini hanya dalam waktu kurang dari setahun?

“Lo juga nggak pernah kontak gue kan Sheil. Parah lo!” balas Evan. Awal perbincangan itu berlangsung cukup lama hingga satu jam kemudian. Mereka saling bercerita tentang apa yang sudah mereka lakukan selama di dunia kerja. Mengulang apa yang biasa mereka ceritakan. Tentang pekerjaan, kawan sejawat, keluarga, dan kali ini bertambah, tentang diri mereka sendiri. Suasana reuni angkatan yang meriah itu tidak bisa mengganggu kualitas pembicaraan yang dilakukan oleh Evan dan Sheila. Bahkan Evan sampai tidak menyadari beberapa kali Sheila mencuri pandang padanya. Pembawaan diri yang berbeda, bahasan yang berbeda, bahkan kosa kata yang digunakan membuat Sheila merasa Evan menjadi jenius saat tidak bersamanya.

Dan seperti diduga, setelah reuni angkatan itu, Sheila dan Evan tetap saling kontak secara rutin di sela-sela kehidupan mereka masing-masing. Intensitas itu bertambah saat Sheila pulang ke Bandung menemui orangtuanya. Kali ini ada agenda lain di samping bermalas-malasan di rumahnya. Ia memiliki jadwal bertemu dengan Evan dan bercerita apa saja yang sudah ia lalui. Kali ini mereka berdua harus menelan ludah sendiri. Perasaan itu tidak bisa dibohongi. Di satu malam usai menjemput Sheila di rumahnya. Evan berterus terang tentang apa yang ia rasakan selama ini setelah pertemuan di reuni itu. Gayung bersambut, Sheila juga tidak mengelakkan perasaannya. Mereka saling jujur. Malam itu menjadi makan malam pertama mereka sebagai pasangan.

Jakarta dan Bandung bukanlah jarak yang sulit menurut Evan dan Sheila. Hampir setiap weekend salah satu dari mereka menghampiri. Toh pekerjaan mereka juga memang saling berkaitan di antara kedua kota ini. Terkadang Evan harus presentasi di Jakarta. Begitupun Sheila yang terkadang harus menemui klien di Bandung. Mencuri-curi waktu di antara jam kantor menjadi bunga-bunga penghias hubungan mereka. Tidak ada yang bisa masuk ke dalam dunia mereka. Waktu seakan berhenti bagi mereka. Manusia yang sedang jatuh cinta. Tanpa mereka sadari bahwa setiap manusia memiliki cobaan maupun tantangan untuk meningkatkan ‘kelasnya’.

Agustus 2017

“Sheil, gue diminta untuk ambil kuliah pasca,” ujar Evan di pertemuan mereka saat weekend. Kalimat itu menghentikan suapan nasi goreng Sheila yang kesekian. Sheila menatap Evan semangat.

Good things dong! Berarti biayanya dari kantor kan? Seneng banget, mau ambil dimana? ITB dong ya pastinya ya yang deket sini,” runtutan kalimat Sheila tidak bisa menutupi kekalutan Evan untuk mengucapkan yang sebenarnya. Sheila menyadari tidak ada jawaban dari responnya. This must be not something good then, batinnya.

“Nggak di Bandung ya? Neither Jakarta?” tanya Sheila. Evan mengangguk pelan. Ia meminum kopi dari cangkirnya. Mencoba menelan kenyataan yang harus ia utarakan.

Then….. Jogja? Bali?” Sheila masih mengejar.

Lihat selengkapnya