Desember 2018
Berlin, 8.23 AM
[Sheila : Van, lagi apa?]
[Sheila : Di lab ya?]
[Sheila : Btw, van, kangen makanan indo nggak? Ngidam bumbu kacang ni]
[Sheila : Van, kalo uda balik dorm kabarin ya]
Nagoya, 9 PM
[Evan : Sheil, sori, tadi masih di kelas bahasa, ini udah di dorm]
[Evan : Iya, kangen lah makanan indo, masakin gih kirim sini, hahaha]
[Evan : Sekarang di sana jam 1 siang yah? Lagi makan?]
[Evan : Since you’re not replying back, I assume you’re in the class. Aku tidur dulu ya Sheil. Have a great day, I love you]
Berlin, 7 PM
[Sheila : Another chat yang bikin kita kayak alien di planet masing-masing ya Van]
[Sheila : Sekarang juga paling kamu masih tidur meluk guling. Udah ganti hari ya disana?]
[Sheila : Aku baru mau makan malam, good night Evan. Love you too]
Nagoya, 7 AM
Pesan terakhir dari Sheila baru dibaca Evan lima jam kemudian saat ia terbangun karena kedinginan. Jepang sudah memasuki musim dingin dan Evan masih harus membiasakan diri dengan perubahan musim yang ia hadapi. Sudah hampir setahun ia tinggal di Jepang, tinggal menyelesaikan ujian kelas bahasanya sembari mengikuti mata kuliah basic dari program yang ia ikuti. Sebaliknya, Sheila sudah mengikuti berbagai kelas di tahun pertamanya. Terduduk di tempat tidur dengan selimut abu-abu berantakan menutupi kakinya. Evan menghela nafas.
Setahun ini ia sudah menemuka tempat baru, beradaptasi dengan lingkungan, programnya, bahkan mentornya. Kemampuan bahasa Jepangnya yang baik hanya tinggal menunggu waktu ujian sebagai prasyarat mengambil kelas yang advanced. Hari-harinya penuh kesibukan karena sembari mengikuti kelas bahasa, Evan juga melakukan penelitian di laboratorium kimia, Universitas Nagoya. Ia tidak boleh menyia-nyiakan waktu karena beasiswanya dibiayai kantor. Meskipun demikian, semua usahanya tampak lancar dilakukan dan jika sesuai dengan target, ia akan lulus tepat waktu.
Sebaliknya, raut mukanya pagi ini tidak menunjukkan kebahagiaan setelah melihat pesan dari kekasihnya yang tinggal di belahan bumi lainnya. Ia menutupi wajah dengan kedua belah tangannya seraya terduduk di pinggir kasur. Tidak pernah ia merasa semerana itu. Sebelum reuni Evan tidak pernah bertemu maupun kontak dengan Sheila. Tapi kali ini perbedaan waktu membuatnya merasa tak berdaya. Padahal hatinya sudah bertaut.
Baru setahun, aku harus bertahan, malu sama uang yen di dompet, batin Evan.
Berlin, 11 PM
Sheila baru saja tiba di dormitorinya setelah pergi makan malam dengan teman-temannya. Memandang kosong ke arah kamarnya yang gelap usai menutup pintu. Sudah setahun, batinnya. Sejak ia mengantarkan Evan di Bandara Soekarno-Hatta di bulan Februari, tidak pernah lagi mereka bertemu. Frekuensi komunikasi yang jauh berkurang karena perbedaan waktu, disertai tidak adanya pertemuan. Baru kali ini setelah reuni ia tidak pernah bertemu dengan Evan. Tidak pernah lebih dari dua minggu perpisahan mereka. Salah satu pasti akan mengusahakan bertemu di sela-sela kegiatannya.
Anehnya, Sheila tidak merasakan kekosongan berarti saat Evan tidak ada di sampingnya. Padahal, saat mereka terpisah Jakarta-Bandung, hampir setiap saat Sheila mengirimkan pesan singkat atau minimal telepon di penghujung hari. Kali ini tidak. Sheila tidak merasa kesepian. Ia pulang dan pergi kuliah seperti biasa. Bertemu dengan teman-teman barunya di kampus dan pergi makan malam. Pergi belanja kebutuhan harian sendiri. Terkadang duduk di kursi taman kampus sambil makan siang sendiri ditemani buku-bukunya. Sheila merasa bisa sendiri. Ia sadar akan hal itu. Peran Evan seakan menghilang perlahan.