Seremoni Rasa

Dinda Ratri
Chapter #7

Fase 2 : Edo

Edo sudah memahami betapa unik keluarga istrinya sejak masa pacaran dulu. Peraturan yang masih saklek untuk anak perempuan, unggah-ungguh yang tertata saat masa perkenalan dengan orangtua istrinya, serta seluruh proses pernikahannya yang sarat dengan adat. Edo mencoba terbuka untuk semua aturan budaya di keluarga Mila, istrinya, yang memang masih keturunan ningrat. Edo berpikir, nanti tetaplah saat sudah menikah, Mila akan mengikuti aturan yang akan mereka buat sendiri. Tapi kali ini rasanya keterbukaan Edo akan budaya itu sudah habis.

Mila sendiri adalah seorang wanita yang sangat memesona di mata Edo. Perkenalan mereka saat masa kuliah di arsitektur dan kecintaan mereka terhadap budaya Indonesia menjadi awal dari semuanya. Rambut panjang berwarna hitam tebal hingga punggung dipadu dengan sebuah setelan panjang berwarna kalem. Garis wajah yang tegas dipadu dengan warna kulit  sawo matang. Campuran keturunan Bali dan Jawa tampak kental dari tampilan wajah dan cara bicaranya yang medhok. Pola pikirnya yang polos namun penuh dengan celetukan cerdas membuat semua orang tertarik pada Mila. Banyak yang mengatakan Mila memiliki pola pikir yang out of the box. Edo semakin tertarik saat salah satu dosen mengatakan ada mahasiswa yang mampu membuat desain yang mengaitkan seluruh elemen alam dan budaya dengan baik. Dari situlah perkenalannya dengan Mila dimulai.

Keluarga besar Mila sendiri sebenarnya berada di Semarang. Meskipun Mila kuliah di Jakarta, ia tetap diwajibkan untuk pulang ke rumahnya di Semarang seminggu sekali. Ya, tidak salah. Seminggu sekali. Keluarganya memiliki rumah sakit swasta di beberapa kota di Jawa Tengah sehingga cukup bagi mereka membiayai putri semata wayangnya untuk pulang dari luar kota setiap minggu saat kuliah.

Pemandangan tak biasa sudah Edo lihat sejak mendatangi rumah Mila saat lamaran. Sebuah joglo menjadi bangunan penyambut di bagian depan rumah Mila. Katanya, tempat ini dijadikan untuk ruang tamu atau kesenian lainnya. Dilanjutkan rumah berbentuk modern di belakangnya yang berbentuk huruf U besar mengelilingi joglo dengan satu pintu besar kayu di tengah. Saat Edo datang bersama Bu Tinah, mamanya, suara gamelan jawa berkumandang dari Joglo perlahan. Para pemain disiapkan untuk membuat suasana lamaran ini semakin sakral kata orangtua Mila. Entah bukan senang terhadap seni yang disajikan, Bu Tinah malah merinding mendengar gending itu ditabuhkan. Wangi melati juga tersebar dimana-mana.  

“Do, maaf ya mama mau tanya, tapi Mila nggak yang klenik-klenik gitu kan ya?” tanya Bu Tinah sepulang dari acara lamaran.

“Enggak lah, Ma, apa sih, kok gitu?”

“Ya, tadi, Mama ngerasa nggak nyaman aja feelingnya. Rumahnya itu...,” Bu Tina tidak melanjutkan kalimatnya.

“Tapi, Mila nya enggak kan, Ma?”

“Enggak lah, Mila baik. Kan sudah pernah ketemu Mama berkali-kali juga. Mama suka kok sama Mila. Cuma kaget sama merinding aja lihat rumahnya tadi.”

“Ya, memang keluarganya kan masih keturunan gitu, Ma. Lagian tadi enak kok, kaya lagi di Bali-Bali gitu.”

“Ya sudah terserah, yang mau nikah kan kamu, Mama cuma ngikut aja.”

Kalimat itu menutup pembicaraan. Edo kembali berkonsentrasi ke setir mobilnya. Bukan tak beralasan Bu Tinah berkata seperti itu. Papanya yang sudah meninggal juga dulu memiliki kemampuan untuk merasakan ‘hal yang bersifat abstrak’, begitu Edo menyebutnya. Setelah papanya meninggal, entah mengapa sensitivitas itu seolah dialihkan ke Bu Tinah. Tapi pikiran itu segera dienyahkan dari kepala Edo. Ia akan menikah dengan wanita idamanya, Mila Soetjipto, lima bulan lagi. Dan pikiran lain sudah tidak akan mengganggunya lagi.

***

Setelah pernikahan dilangsungkan, Edo memboyong Mila ke apartemennya di Jakarta. Edo bekerja sebagai arsitek di sebuah perusahaan swasta yang cukup terkemuka di Indonesia. Dalam waktu dekat, ia akan mendesain sebuah pemukiman di pinggiran Jakarta dengan fasilitas mewah. Partisipasinya dalam proyek ini sudah ditunggu sebagai salah satu pembuat master plan. Mila memilih untuk tetap bekerja sebagai asisten di sebuah perusahaan desain interior di Jakarta. Kesibukan mereka membuat bulan madu menjadi tertunda. Meskipun demikian, sifat pekerja keras keduanya memang tidak bisa dibantah.

Sudah delapan bulan Edo dan Mila menikah. Tidak pernah ada permasalahan apapun yang berarti. Hanya saja suatu hari, Edo dikontak oleh pengurus apartemen. Salah satu tetangganya mengeluh suara berisik yang muncul dari apartemen Edo di siang hari. Edo mengelak. Ia menjelaskan bahwa tidak ada orang di rumah saat siang kecuali akhir minggu. Awalnya pengurus apartemen mengiyakan dan menganggap mungkin tetangga Edo hanya sensitif mendengar suara di tempat lain. Tapi seminggu kemudian, lagi-lagi Edo menerima telepon dari pengurus apartemen di siang hari.   

“Mas, maaf sekali ini, tapi mungkin bisa dicek dulu rumahnya kalau ada yang rusak atau gimana?” ujar pengurus apartemen.

“Maksudnya gimana, Pak? Tadi pagi saya berangkat juga nggak ada yang rusak kok di rumah.”

“Ini saya telepon dari apartemen sebelahnya Mas Edo, huniannya Mba Sisca. Ini memang kedengeran mas suaranya, kayak banting-banting gitu. Istri dirumah kah?”

Dahi Edo berkerut. Tadi pagi baru saja ia mengantarkan Mila ke kantornya seperti biasa. Tidak ada yang aneh.

“Pak, bisa didekatkan ke tembok nggak handphonenya? Saya mau denger suaranya. Boleh?” tanya Edo.

Pengurus apartemen tanpa menjawab langsung mendekatkan telepon genggamnya ke arah dinding berharap Edo bisa mendengar suara yang ia dengar. Edo memang mendengar seperti ada buku-buku dan alat elektronik yang dilemparkan ke lantai. Logika Edo berjalan, seharusnya kalau ada suara yang cukup keras seperti itu, lantainya sudah rusak dari kemarin.

“Oke, Pak, saya coba balik ke apartemen sebentar, Pak Joko sama Mbak Sisca nunggu di dalam apartemen Mbak Sisca dulu aja” kata Edo mengakhiri pembicaraan yang disambut nafas lega pengurus apartemen dan Sisca.

Izin pulang cepat diberikan, Edo mengarahkan kemudinya ke arah apartemen. Sebelum menikah dengan Mila, tidak ada keluhan yang muncul dari tetangganya. Baru kali ini ada keanehan. Segala alasan logis masuk di kepala Edo tentang bagaimana pipa airnya mungkin rusak atau suara yang berasal dari unit lain di atasnya.

Dua puluh menit kemudian, Edo sampai di depan pintu apartemen tetangganya. Ia menekan bel yang pintunya langsung terbuka. Pengurus apartemen, Pak Joko, dan Sisca sedang mengobrol di ruang tengah apartemen Sisca. Wajah mereka berubah cerah saat Edo melangkah datang.

“Mas Edo!” sapa Pak Joko yang membukakan pintu.

“Iya, gimana, Pak?”

“Ini dua puluh menit yang lalu kami denger suara keras sekali kaya barang berat dibanting. Mba Sisca takut kalo ada maling.”

“Apa perlu saya panggil satpam sekalian?” lanjutnya.

“Coba kita lihat dulu ke sebelah bareng-bareng, Pak. Tapi setelah itu nggak ada suara? Nggak ada orang keluar juga kan?” tanya Edo.

“Enggak, Mas. Gitu ada suara buesar itu tadi, saya sama Mbak Sisca langsung keluar, daritadi kami disini.”

“Maaf ya Mas Edo, minggu lalu saya uda mau nanya Mas Edo langsung cuma pikiran saya mungkin halusinasi kecapekan. Tapi minggu ini kok tambah keras suaranya, maaf ya, Mas,” Sisca menimpali di tengah-tengah pembicaraan Edo dan Pak Joko.

“Nggak apa-apa, Mba, namanya juga tetangga, kita juga saling ngawasi. Coba saya cek dulu ya,” kata Edo mencoba menenangkan Sisca. Ia mengeluarkan kartu apartemennya. Dalam kurun waktu itu, Edo juga menyiapkan diri untuk menghadapi situasi yang tidak diinginkan. Meskipun ia jago taekwondo dengan sabuk hitam, tetapi kalau ada lebih dari dua orang tetap harus pikir ulang.

Piip. Suara kunci terbuka. Gagang pintu dipegang Edo. Ia membuka sedikit, mencoba mendengarkan apakah ada pergerakan di dalam unit apartemennya. Tidak ada suara apapun. Edo menelan ludah mencoba melanjutkan membuka daun pintu lebih lebar. Cahaya dari koridor apartemen menerangi teras rumahnya yang hanya sepetak itu. Pak Joko dan Sisca mengintip dari luar pintu unit.

Sambil membaca doa dalam hati, Edo melangkah masuk ke teras. Rencananya, ia akan menyalakan lampu ruangan yang memang ada di atas rak sepatu dan mengambil payung panjang di sebelah rak sebagai senjata.

Klik. Lampu dinyalakan. Edo mengambil payung dengan secepat kilat. Ruangan tampak terang seluruhnya. Dari pintu depan sudah nampak dapur di sebelah kiri, ruang keluarga dan pintu kamarnya yang terbuka. Edo melihat sekeliling. Tidak nampak ada kerusakan apapun di unit apartemennya. Semua furniture tampak rapi. Mila memang sangat suka hal-hal yang rapi jadi Edo akan sadar jika ada perubahan di ruangannya. Yang berbeda hanyalah dua piring di atas meja makan seberang dapur sisa sarapan tadi pagi yang belum sempat dibersihkan Mila.

Edo menengok ke belakang, ke arah Pak Joko dan Sisca. Ia seolah bertanya apakah yakin suaranya berasal dari sini? Tetapi ia juga meyakini tadi sudah mendengar suara via telepon Pak Joko. Merasa lebih mantap, Edo membuka daun pintu kamar terbuka lebar. Payung masih berada dalam genggamannya. Tidak ada apapun. Hanya suara pendingin udara yang berhembus di kamarnya. Tempat tidur dan lemarinya rapi tanpa sentuhan siapapun. Edo menurunkan ketegangannya. Ia menoleh lagi ke Pak Joko yang sudah masuk ke dalam unitnya. Sisca menunggu di luar.

“Coba kamar mandinya, Mas,” ujarnya. Edo mengangguk, walaupun dalam hati ia yakin hal itu tidak perlu dilakukan. Sekali lagi ia menyalakan saklar lampu kamar mandi. Kamar mandi yang memang hanya dibatasi dengan kaca tembus pandang blur itu menunjukkan tidak ada perubahan apapun. Edo bahkan mengecek lantainya apakah ada kerusakan dan memang tidak ada. Kepala Edo menengok ke kanan dan kiri, ia melihat atas dan bawah. Tidak ada perubahan apapun. Ia menengok ke arah Pak Joko dan mengajaknya keluar.

Setelah mempersilahkan Pak Joko duduk di ruang keluarga, Edo juga memanggil Sisca untuk masuk ke dalam.

“Saya siapin sirup sebentar ya,” ujar Edo sambil tersenyum seolah ia yang memenangkan analisa ini. Pak Joko dan Sisca kikuk terduduk di ruang keluarga. Tak lama, Edo menghidangkan sirup di meja dan ikut duduk bersama mereka.

“Silahkan diminum, Pak, Mbak,” ujar Edo mempersilahkan. Sekali lagi, dengan kikuk Pak Joko dan Sisca menyeruput sirup yang sudah disajikan itu. Edo mengambil nafas panjang.

“Jadi, awalnya gimana ceritanya Mbak Sisca, boleh tahu?” tanya Edo usai melihat Sisca meletakkan gelasnya. Meragu bagaimana memulai ceritanya, Sisca mencoba mengais ingatan yang masih tersisa di kepalanya.

“Saya lupa awalnya, Mas. Yang saya ingat, minggu lalu, waktu itu saya inget paginya ketemu Mas Edo sama Mbak Mila di teras mau berangkat kerja. Jam 11an siang, saya denger suara keras di sebelah. Saya kira Mas Edo panggil tukang untuk perbaiki sesuatu. Tapi kok lama-lama saya denger suara barang pecah juga. Saya sempat kira, maaf Mas, mbak Mila pulang duluan terus mungkin lagi capek, mungkiin, terus banting-banting,” ujar Sisca terus terang. Setelah menghimpun nafas, ia kembali melanjutkan.

“Nah, tapi saya lihat Mbak Mila juga nggak apa-apa besoknya. Saya jadi takut kalo ada pencuri juga di rumah, Mas. Cuma karena takut kalo mungkin itu ranah pribadinya mas dan mbak, jadi saya ngobrol dengan Pak Joko dulu.”

“Selalu jam segitu, Mbak?” tanya Edo.

Lihat selengkapnya