Kantong kain beludru berwarna ungu itu erat tergenggam di tangan Herman. Pusaran emosi dalam wajahnya tidak terbendung. Ada kecemasan, kemarahan, dan kebingungan yang tertumpuk di raut wajahnya. Deru pendingin ruangan bercampur dengan ocehan para penumpang dalam bus. Bau solar mengikat setiap aroma yang muncul dari masing-masing empunya. Herman terduduk diam di bangku paling belakang. Tepat di sebelah jendela. Seolah tidak ingin ada sapaan yang mengganggu.
Herman melirik perlahan ke arah kantong kain beludru itu. Ia membuka ikatan berwarna hitam dan mengeluarkan isinya. Tepat sesuai dugaan. Rabaan sebelumnya membuktikan isi yang berbentuk panjang pipih hampir seukuran jari tengah Herman. Sebuah keris kecil berwarna perak dan emas mendarat di telapak tangan Herman. Ia tidak mengetahui keberadaan keris itu sama sekali selama merantau. Kantong beludru itu seakan muncul begitu saja saat ia sedang berkemas. Pagi tadi ia menerima pesan dari Mbak Vera, tetangga yang sering membantu keluarga Herman, ibunya sedang sakit dan sudah terkapar di tempat tidur selama sepuluh hari.
“Le, pulang ya, ditunggu Ibumu.”
Kalimat itu menggerakkan hati Herman yang selama ini enggan pulang. Empat tahun berlalu sejak pertemuan terakhir dengan ibunya. Bukan sebuah kenangan yang baik. Kata ‘ibu’ sudah menjadi asing di telinganya.
Sebagai seorang anak yatim, Herman memahami kerja keras Bu Tinah, ibunya, untuk menghidupi anak semata wayangnya. Ayah Herman, Pak Hadi, meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia pulang dari proyek pembangunan. Pak Hadi adalah seorang mandor yang cekatan. Ia dipercayai kontraktor untuk melakukan beberapa proyek. Suatu hari, entah karena kelelahan atau sopir truk yang meleng, tabrakan keduanya tak dapat dihindari. Nyawa Pak Hadi tidak dapat di selamatkan. Herman kecil baru berusia lima tahun saat itu.
Bu Tinah menutupi kebutuhan hidup mereka dengan melakukan berbagai usaha. Berdagang kue hingga mencoba MLM (Multilevel Marketing) sudah ia lakukan. Mendiang suaminya hanya meninggalkan sebuah rumah berukuran 60 m2. Bu Tinah menyulap rumah itu hingga memiliki dua kamar tidur, satu kamar mandi, ruang keluarga, dapur dan ruang tamu. Kebutuhan memasak pun ia usahakan dengan memelihara ayam petelur sekaligus menanam sayuran di tanah belakang. Saat itu bagi Herman, Bu Tinah adalah segalanya.
Bu Tinah semakin handal dalam mengelola keuangan saat ia memiliki warung nasi kecil di dekat terminal kotanya. Hanya muat 15 pelanggan untuk makan berdampingan di meja panjang warungnya. Namun, pelanggan Bu Tinah tetap banyak. Variasi masakan dan ketelatenannya membuat para pelanggan enggan berpindah tempat. Dari hasil warung ini, penghasilan untuk kebutuhan hidup mereka menjadi lebih stabil. Target Bu Tinah, Herman harus mencapai pendidikan hingga perguruan tinggi.
“Jangan kaya Ibu, cuma lulusan SMA, ya gini ini. Jualannya nasi di warung aja, Le,” ujar Bu Tinah saat itu. Herman hanya terdiam mendengarkan. Ia sudah duduk di kelas tiga SMA dan menyadari betapa besar biaya yang dibutuhkan untuk mewujudkan mimpi ibunya itu.
“Wes (Sudah) kepikiran mau kuliah dimana?”
“Belum bu, mengko takpikire (nanti kupikirkan).”
“Jangan nanti-nanti, dipikir mateng mau jadi apa, kuliah apa. Ndak usah mikir biaya, ibu bisa kok ngurusi kamu. Ya?”
“Iyo bu,” jawaban itu berakhir dengan langkah kaki Herman melengos ke dalam kamarnya. Bu Tinah dibiarkannya melipat baju jemuran di depan televisi. Tanpa diketahui Bu Tinah, Herman sudah mendaftar program beasiswa ke salah satu universitas di Semarang. Hanya saja, belum ada informasi dari guru bimbingan konselingnya terkait beasiswa yang ia daftar. Kecil hati Herman. Jika ia mendapatkan beasiswa, orang pertama yang ia beritahu adalah ibunya.
Dunia Herman saat itu hanyalah ibunya, ibunya, dan ibunya.
***
Suara pantulan bola basket bergema dalam GOR. Sekumpulan anak laki-laki SMA bermain basket tak tentu arah. Herman duduk di salah satu kursi panjang dalam GOR itu memandang kosong ke arah mereka.
“Man! Ayo ikut main!”
Herman harus menengok beberapa kali mencari sumber suara cempreng yang memanggilnya itu. Sang pemilik suara tiba-tiba muncul dari balik para pemain lain yang lebih tinggi sekepala darinya. Piyo, teman main Herman sejak kecil dan juga anak Pak RT, berlari kecil ke tempat Herman duduk melamun.
“Enggak ah, males.”
Jawaban itu memberikan sebuah pertanda bagi Piyo. Ada yang mengganggu isi kepala Herman saat ini. Piyo menengok ke arah para pemain yang masih menanti tambahan peserta dalam pertandingan abal-abal mereka kali ini.
“Main dulu aja, aku disini!” ujar Piyo. Kalimat itu ditanggapi heran oleh para pemain yang sudah terlanjur menantinya. Piyo mengambil bola basketnya yang menggelinding agak jauh lalu duduk di sebelah Herman.
“Kamu kenapa?” Piyo mencoba bertanya.
“Lha kamu kenapa malah nggak main?” Herman balik bertanya.
“Lha kamu nggak main kok, Man.”
Herman mendengus. Ia tak tahu haruskah ia menceritakannya kepada teman semasa kecilnya ini atau diam saja. Berdebat dalam pikiran adalah hobinya sejak dulu. Mengambil tindakan dengan pikiran yang matang. Ia sadar kesalahan dalam langkah hidupnya beresiko besar tidak hanya bagi dirinya tetapi juga ibunya.
“Man, kamu nek (kalau) pulang sekolah gitu, bantu-bantu ibumu di warung ndak to?” tanya Piyo tiba-tiba.
“Dulu pernah di awal, waktu SMP. Tapi sekarang nggak pernah. Ibu buka warung kan jam sekolah sampe malem. Apalagi pas minggu-minggu ujian kemarin, nggak pernah aku. Kenapa e?”
“Nggak apa-apa, Man, tanya aja. Lha kamu kok mukanya kaya mbingungi (kebingungan) gitu kenapa?”
“Nunggu pengumuman Yo.”
“Pengumuman beasiswa?”
“Ya apalagi?”
“Nggak ada rencana lain selain beasiswa itu?”
Pertanyaan itu seolah menapakkan Herman ke realita.
“Nggak ada,” Suara Herman terdengar getir.
Piyo hanya bisa memandang Herman. Ia ingin membantu tetapi ia memahami keterbatasannya. Tidak mungkin Piyo memberikan kepastian kursi di universitas yang sudah diusahakan Pak RT untuk dirinya kepada Herman. Saat ini mereka hanya tinggal menunggu waktu wisuda dan pengumuman diterima di berbagai universitas. Bagi mereka yang gagal, harus mencoba di tahun berikutnya atau memilih jalan yang lain.
“Eh, Man, kamu kok ndak ngambil ekskul basket dulu kenapa e? Kan badanmu tinggi to?” Piyo mencoba mengalihkan pembicaraan. Tinggi badan Herman yang lebih dari 180 cm itu memang sayang untuk tidak dimanfaatkan. Alih-alih memilih basket dan Voli, Herman malah memilih pecinta alam.
Tersenyum tipis, Herman menjawab, “Mahal, Yo, ekskulnya. Kalo pecinta alam aku cuma butuh bawa badan aja kan?”
“Besok kamu ikut summit Sindoro?”
“Belum tak tanya ibu, nantilah,” jawab Herman masih memandang kosong teman-temannya yang sudah memulai pertandingan. Pengalihan isu itu tidak terjadi dengan mulus. Percakapan mereka berakhir kelam seperti di pemakaman.
***
Pintu rumah tidak terkunci saat Herman tiba. Ia melihat Mbak Vera sedang sibuk di dapur membuat makan malam.
“Mbak, masak apa?” tanya Herman basa-basi.
“Sop daun kelor sama ayam goreng, Le, nanti kasih tau ibu dagingnya sudah takmasukkan ke kulkas ya,” jawab Mbak Vera.
“Iyo mbak.”
“Eh, Le, kamu udah pernah ke warung nasi ibumu lagi belum to?”
“Belum pernah, Mbak. Lha kenapa to?” Pertanyaan kedua hari ini tentang warung nasi ibunya.
“Ndak apa-apa, Le. Nanya aja.”
“Yawes, tak mandi dulu,” tutup Herman. Ia melangkah menuju kamarnya mencari baju ganti. Bau mesin dan solar bercampur dengan seragam putih abunya. Angkutan umum sudah menjadi sahabatnya sejak dahulu. Melihat kondisi di rumahnya, terkadang ia juga ingin meminta motor sebagai kendaraan seperti teman-temannya yang lain. Tapi ia tidak tega saat melihat ibunya yang setiap hari bangun subuh memasak untuk warung dan pulang malam setelah para pelanggan pulang.
Herman sudah terbiasa ditinggal Bu Tinah hingga malam karena harus berjualan di warung nasinya. Bu Tinah meminta tolong pada Mbak Vera, tetangga mereka untuk membantu memasakkan makan malam dan mencuci baju. Bagi mereka, Mbak Vera sudah dianggap sebagai saudara.
“Le, lawuhnya sudah siap, tak tinggal dulu ya!” suara Mbak Vera terdengar dari balik pintu kamar mandi.