Bel pintu biasanya menandakan kehadiran seseorang di rumah. Tapi bagaimana jadinya jika setiap kali pintu dibuka, kehadiran yang diharapkan tidak pernah ada?
Albert mengalaminya berkali-kali. Sejak kecil, karena pekerjaan ayahnya, Albert harus berpindah-pindah rumah. Di usianya yang ke delapan belas ini, Albert memperkirakan ia sudah berpindah rumah lebih dari lima kali. Itupun yang ia ingat. Entah berapa kali packing yang sudah dilakukan ibunya saat ia maupun adiknya masih balita.
Albert mulai bisa mengingat berbagai peristiwa saat ia berusia lima tahun. Saat itu ia tinggal di sebuah kota di provinsi Jawa Tengah. Tempat tinggalnya berada di sebuah cluster perumahan yang apik dan bersih. Jejeran rumah dengan rumput berwarna hijau terang menunjukkan perumahan ini masih baru. Lokasi rumah Albert hanya berjarak dua rumah dari pos penjagaan perumahan. Bisa dibilang sangat dekat dan terbilang aman menurut keluarga Albert. Bagi Albert si bocah lima tahun, cluster ini menjadi tempat yang cukup lapang baginya dan Benny, adiknya, untuk bermain bola di sepanjang jalan. Maklum, waktu itu penghuni di perumahan ini belum mencapai setengahnya.
Ingatan Albert membawanya kepada satu peristiwa pada bulan kedua ia tinggal di perumahan itu. Karena terlalu lelah bermain dengan adiknya di siang hari, Albert tertidur lebih awal dari biasanya. Ia terbangun pukul dua malam di kamarnya. Ada rasa haus yang menyertainya sehingga ia melangkah keluar kamar. Saat pintu dibuka, hanya ada sekilas sinar dari ruang makan yang dinyalakan. Lampu ruang tengah sudah dimatikan dan rata-rata penghuni rumah sudah terlelap dalam tidur. Suasana begitu temaram dan sepi. Albert kecil merasa was-was untuk mengambil segelas air putih di meja makan walaupun jaraknya hanya beberapa langkah saja. Sesaat, terdengar suara motor yang melalui depan rumahnya hingga sepertinya tiba di pos penjagaan perumahan. Samar-samar terdengar suara orang berbincang. Albert merasa aman, ia bersegera ke meja makan. Langkahnya terburu. Baru setengah jalan sampai di ruang tengah, tiba-tiba bel rumahnya berbunyi.
“Ting-tong.”
Albert berdiri kaku tak bergerak. Suara orang berbincang di pos penjagaan pun terhenti. Lagi-lagi suasana menjadi sepi di tengah kegelapan malam. Albert berbalik, wajahnya memucat. Tak peduli lah ia akan kehausan hingga pagi nanti, rasa ketakutan sudah membuatnya bergidik sekujur tubuh.
Siapa yang akan memencet bel jam dua pagi buta? Apalagi aku tidak mendengar sama sekali suara kendaraan berhenti atau bahkan langkah kaki di depan pintu rumah, batin Albert.
Albert masuk ke dalam kamarnya, mengurung diri dalam selimut, enggan keluar sampai esok pagi.
***
Dasar si kecil Albert, ia begitu saja lupa akan kejadian di malam sunyi itu. Ingatannya tak akan tergali lagi seandainya tidak ada cerita yang diulang oleh pembantunya, Mbak Narni. Satu ketika, Mbak Narni bercerita pada ibu Albert di dapur saat menyiapkan masakan untuk arisan kantor. Albert yang memang sejak awal sudah berniat mencuri makanan kecil, malah mencuri dengar apa yang mereka bicarakan.
“Sudah beberapa kali, Bu, saya ngalamin. Tapi yang ini kok sering sekali,” ujar Mbak Narni kala itu.
“Dulu saya juga, Mbak, tapi nggak sering banget kok, sesekali aja,” jawab ibunya sambil menguleni adonan.
“Sebenernya sejak kapan to, Bu?”
“Saya juga nggak ngerti kapan, Mbak, lha Mbak Narni aja kan ikut kita udah lama, inget ndak mulainya kapan?”
“Lupa juga saya, Bu,” keluh Mbak Narni.
“Seringnya kayak gimana, Mbak? Saya sama Bapak kan kamarnya di belakang, jadi nggak gitu kedengeran,” tanya Ibu Albert penasaran. Memang kamar Mbak Narni berada tepat di belakang garasi yang langsung ke arah pintu depan. Jadi sangat wajar kalau ada tamu datang, pasti Mbak Narni yang pertama kali membuka pintu.
“Ya, kalo dulu kan jarang-jarang, Bu, biasanya juga cuma subuh atau sore-sore mau maghrib, atau kadang jam 10an. Kalo dulu saya agak berani, soalnya Bapak juga biasanya masih kerja,” jelas Mbak Narni. Ia melanjutkan, “tapi kalo yang ini, kadang habis ibu pergi nganter mas-mas, terus bunyi. Kadang waktu saya pulang dari pasar, atau tengah malem juga sering, Bu,” wajah Mbak Narni gelisah menceritakannya.
“Ibu, ibu tahu ndak, itu satpam-satpam depan itu juga denger lho, Bu, suaranya, tapi mereka nggak bilang sama Ibu.”
“Ah, mosok?! Kan jauh sini ke sana?!” ujar Ibu kaget.
“Ealah, Bu, kalo tengah malem sepi, dari sini ya kedengeran to, kan yang pake bel cuma rumah ini dari tiga rumah yang deket k epos,” jelas Mbak Narni dengan gaya rumpinya yang medhok. Ibu Albert geleng-geleng kepala. Albert yang mendengarkan sepintas sejak tadi mulai berkeringat dingin.
“Lho, Al, kenapa? Laper, Nak?” tanya Ibu Albert yang baru menyadari kehadirannya. Albert menoleh.
“Iya, Ma, ini udah ambil yang di meja makan kue lempernya, boleh kan?” tanya Albert.
“Boleh, bawa satu lagi buat Benny ya, kalian main dulu di luar, nanti kalo mama udah selesai, kita pergi bawa makanan ini ke kantor papa,” lanjut ibunya. Kalimat itu disambut wajah meringis sedih Mbak Narni. Itu berarti ia harus ditinggal sendirian lagi malam ini. Dalam hatinya, ia bersiap memasang earphone rapat-rapat agar tidak mendengar apapun.
***
Keesokan harinya, usai tidur siang, Albert menyadari ia hanya sendirian di rumah. Memang hari ini adalah agenda ke pasar Mbak Narni, hanya saja ia tidak menyangka Benny juga dibawa sekalian. Mungkin karena Albert tidur terlalu lelap, Mbak Narni khawatir Benny bermain sendiri di rumah. Suasana rumah yang sepi mulai terasa kurang nyaman bagi Albert walaupun suasana di dalam rumah cukup terang. Terik panas matahari juga menembus melalui beberapa jendela rumahnya. Seharusnya tidak ada yang perlu ia takuti, akan tetapi hatinya tetap saja gelisah.
Benar saja, tak lama, bel rumah nya berbunyi lagi saat ia sedang duduk sendirian di kamarnya.
“Ting-tong.”
Enggan ia bergerak dari tempat tidurnya. Bagaimana kalau tidak ada siapapun disana? Walaupun hari masih terang, bukan berarti melihat yang tidak ada menjadi hal yang menyenangkan.
“Ting-tong.”
Suara bel kedua. Jaraknya tidak terlalu lama. Albert mulai memainkan logikanya.
“Albert?!” suara lelaki memanggil namanya dari luar rumah. Sepertinya Albert cukup mengenal suara itu.
Albert memberanikan diri keluar kamar. Ia mengeluarkan kepalanya sedikit dari celah pintu kamar. Biasanya, ia memang bisa melihat bayangan tamu yang datang ke rumah dari kamarnya. Bayangan itu nampak di jendela samping pintu depan rumahnya. Dan kali ini, ia melihat bayangan yang berbentuk orang. Bergegas Albert menuju pintu depan dan membuka kuncinya.
“Al, sudah bangun? Kamu sendiri kan? Ayo ke pos dulu saja, saya temani disana,” kata Pak Tarno, satpam yang menjaga perumahannya. Ia juga sering bermain bola dengan Albert dan Benny di depan rumahnya. Wajahnya tampak lega melihat Albert membuka pintu rumahnya. Albert pun mengangguk pada ajakan itu. Tak lama, Pak Tarno membantunya mengunci rumah dan berjalan bersamanya ke pos penjagaan.
“Sini, duduk sini dulu aja, cuma ada teh hangat manis, nggak apa-apa ya?” kata Pak Tarno sambil mempersilahkan Albert duduk di kursi kosong di pos penjagaan. Ia tidak sendiri di pos tersebut. Ada rekannya, Pak Rekso, yang juga Albert kenal. Albert sekali lagi mengangguk dalam diam.
“Tadi Mbak Narni kesini, Dik, nitip kalo kira-kira kamu sudah bangun, tolong diajakin kemari,” kata Pak Rekso.
“Sendirian ya ndak enak to, mending disini aja,” lanjutnya. Lagi-lagi Albert mengangguk.
“Eh, tadi bunyi lagi po?” tanya Pak Rekso pada Pak Tarno.
“Iya, tapi kayaknya Albert ndak dengar. Albert tadi tidur terus to? Ndak dengar apa-apa to?” tanya Pak Tarno sambil menoleh pada Albert.