“Hei, anak kota, apa yang terjadi padamu?”
Sambil mendekati Edi, pemilik penginapan yang dia sewa selama tiga hari ini, Kenzo menunjuk benjelon dan memar di pelipis kirinya. “Ini?” tanya Kenzo.
Edi mengangguk saat mengatakan, “Ya.”
“Tadi aku terjatuh. Kepalaku membentur batu. Lumayan keras hingga aku kehilangan kesadaran, entah berapa lama.” Kenzo meletakkan tas punggungnya di lantai, lalu menempati kursi kayu di hadapan Edi.
“Dimana kamu jatuh?”
“Di pantai. Dekat tebing batu.”
“Memangnya, apa yang kamu lakukan hingga kamu jatuh dan terbentur batu?”
“Aku kurang hati-hati saat mengejar seorang perempuan yang aku lihat di tebing batu.”
Mata Edi mengerjap. “Kamu melihat, perempuan di tebing batu?”
Kenzo mengangguk. “Ya.”
“Kamu yakin telah melihatnya?”
“Ya, aku yakin,” kata Kenzo sambil mengangguk. “Perempuan itu berdiri di tepi tebing batu. Aku tidak menyadari dia ada disana, sampai aku mendengar gesekan biola dan nyanyiannya.” Helaan napas panjang meluncur dari hidung Kenzo. “Permainan biolanya, suaranya, begitu mempesona hingga membuat hatiku bergetar, membuat diriku dipenuhi keinginan untuk tahu siapa dirinya. Karena itu, begitu dia selesai menyanyi, aku berteriak, memberitahu dia kalau aku ingin berbicara dengannya, mengenalnya. Tapi dia malah berlari pergi.”
Kenzo menggeleng-gelengkan kepala. “Aku tidak mengira dia akan melakukan itu. Melarikan diri.”
“Dan kamu mengejarnya.”
“Karena aku sangat ingin tahu siapa perempuan itu. Jadi aku berlari kencang menuju tebing batu untuk mengejarnya. Tapi gagal.” Kenzo menghela napas pendek, menunjukkan rasa kesal karena kegagalan yang dia alami. “Kalau saja ada beberapa lampu penerangan di pantai. Atau, andai saja aku tidak meninggalkan senter di mobil. Aku tidak akan tersandung batu, pingsan dan mendapatkan ini,” Kenzo kembali menunjuk benjolan dan memar di pelipis kirinya.
Kenzo menatap Edi. “Apa dia selalu melakukan itu? Melarikan diri dari orang yang ingin mengenalnya?”
Edi hampir saja mengatakan, “Ya,” lalu memberitahu Kenzo kalau perempuan di tebing batu selalu melarikan diri dan menghilang begitu ada orang melihatnya, menyapanya, mengatakan ingin mengenalnya.
Perempuan di tebing batu, masih menjadi misteri besar bagi penduduk desa, juga semua pelancong yang pernah melihat dan mendengar permainan biola atau nyanyiannya.
Edi, juga seluruh penduduk desa yakin, kalau perempuan di tebing batu bukan manusia, melainkan seorang Siren. Itu sebebnya, sampai detik ini tidak ada satu pun orang yang berhasil mengejar perempuan di tebing batu, atau mengetahui siapa dia.
Tapi, kalau Edi memberitahu Kenzo semua itu, Edi yakin Kenzo tidak akan percaya.
Mungkin, Kenzo akan terbahak karena menganggap Edi hanya mengada-ada. Karena itu Edi mengurungkan niatnya untuk memberitahu Kenzo tentang perempuan di tebing batu. Edi hanya mengatakan, “Aku belum pernah melihatnya. Tapi semua orang yang pernah mendengar permainan biola dan nyanyiannya, mengatakan kalau perempuan di tebing batu selalu menghilang setelah mereka menyapanya.”
“Kenapa dia melakukan itu?”
Edi mengedikkan bahu, lalu menunjuk wajah Kenzo. “Aku akan memberimu obat untuk memar dan benjolan itu, juga obat penghilang sakit. Tapi sebelum itu….” Edi menyeret kursinya lebih dekat ke Kenzo, mencondongkan kepala ke kepala Kenzo, lalu membisikkan, “Perempuan di tebing batu, apa kamu melihat wajahnya?”
Kedua ujung alis Kenzo bertemu, merasa tingkah Edi agak konyol. Namun Kenzo tetap menjawab pertanyaan Edi dengan gelengan kepala dan satu kata, “Tidak.”
“Walau sekilas?”