Tahun, 1997-1998.
Alunan piano dari nada berjudul Married Life dari Michael Giacchino menggema di tengah-tengah ruangan. Seorang pria ditemani dengan anak laki-laki kecil berumur sepuluh tahun begitu gembira memainkan irama nada yang dibuatnya. Senyuman anak laki-laki itu juga begitu lebar menatap Ayahnya sesekali. Seorang wanita yang diyakini sebagai Ibunya—yang memakai celemek dan mengangkat kue dari oven ke atas meja, ikutan mengukir senyuman. Dan memiringkan kepala ke kiri kanan dengan mata terpejam. Menikmati.
Begitu permainannya berhenti, sang Ayah mengangkat putranya untuk pindah duduk di pahanya.
“Ayah, aku ingin seperti Ayah. Apa aku bisa menjadi pianis handal kelak nanti?”
“Tentu saja sayang. Ayah akan mengajari mu lebih banyak lagi.”
“Faisal!”
Faisal Arganta nama anak laki-laki itu. Dia berganti menoleh ke arah Ibunya di meja makan. Rambutnya yang tertata rapih oleh minyak rambut, membuat kesan childishood tergambar di dirinya. Dengan bersemangat ia meloncat dari gendongan sang Ayah dan lari menuju ke Bundanya.
“Kuenya sudah siap, Isal. Apa kau ingin mencicipinya?”
Faisal yang iseng pun mencolek krimnya menggunakan telunjuk, mencicipi dengan ujung lidahnya.
“Isal, jangan mencolek krimnya seperti itu!”
“Hahaha. Habisnya ini enak lho, Bun.”
“Kau menyukainya sayang?” Sang Bunda mengusap puncak kepalanya dengan lembut.
“Selalu.” Faisal menunjukkan gigi belum rapih miliknya dan menyipitkan mata. “Aku selalu menyukai semua masakan Bunda. Masakan Bunda enak. Tidak seperti Ayah.”
“Tapi Ayah jago main piano,” sela Ayahnya yang tidak ingin kalah.
Bunda berjongkok, mensejajarkan kepala dengan Faisal agar berhadapan. Lalu meraih kedua pundak Faisal ke dekatnya. Dasi kupu-kupu berwarna merah yang terpasang dengan jas hitam itu sedikit miring, maka ia mencoba untuk merapihkan-nya.
“Tapi yang hebat tetap Isal. Coba kecup pipi Bunda,” katanya, sembari mencolek hidung mungilnya.
“Pipi Ayah juga, Sayang.”
Faisal mengecup pipi kedua orang tuanya gantian.
“Anak Bunda dan Ayah pasti akan berhasil di pentas seni hari ini.”
“Aku sudah tidak sabar, Bunda. Nanti jangan lupa Ayah, Ayah, potret aku!”
“Oh tentu, itu tugas Ayah yang paling Ayah sukai. Mengabadikan wajah mu dan nanti wajah itu akan di tempatkan di ...” mata sang Ayah mencari lahan kosong di dinding rumahnya. Tangannya memegang dagu dengan tatapan berpikir.
“Di kamar ku,” sambung Faisal cepat.
“Ya. Tentu, Sayang. Di kamar mu belum terpasang foto.”
“Ayo kita berangkat!”
Faisal yang tidak sabar langsung saja meraih kedua tangan orang tuanya. Dia berdiri di tengah-tengah untuk berjalan keluar rumah dengan kedua tangan menggenggam.
Namun begitu Bunda berhasil mengunci pintu, sang Ayah melotot dan berjalan cepat ke mobilnya.
“Oh tidak, Isal! Ban mobilnya kempes.”
“Ayah, bagaimana kalau aku terlambat?” desah anak laki-laki itu.
“Tidak. Ayah tidak akan membiarkan itu terjadi. Ayah akan menggantinya cepat. Kau tunggu sebentar ya, istri ku. Kau bantu aku!”
Faisal hanya mampu duduk dengan raut wajah lesu di tangga. Tangannya menopang dagu memandang kegiatan kedua orang tuanya. Sesekali ia melihat jam melingkar di tangannya. Lalu berganti lagi pada dongkrak di depan Ayahnya.
“Ayah, apa masih lama?”
“Tidak Sayang, Ayah hampir selesai," balas sang Ayah.
“Bunda, aku lapar apa aku boleh makan bekal sekarang?”
“Iya, Sayang. Makanlah.”
Tak berapa lama, saat Faisal sedang asik mengunyah roti Sandwich. Kedua orang tuanya sudah kembali berdiri.
“Sayang, ayo cepatlah naik! Kita bisa terlambat.”
Faisal merampas kotak bekalnya dan lari memasuki mobil. Selama di jalan, dia tidak tenang karena keadaannya sangat macet. Bahkan Ayah beberapa kali memukul setir di antara rintikan hujan.
“Ayah, aku bisa terlambat,” gumam Faisal untuk yang kesekian kalinya.
“Tidak, Sayang. Ayah sudah mencoba lebih cepat. Kau tenanglah.”
“Bunda, Isal ingin pipis.”
“Tahanlah sebentar, Nak. Kita akan sampai sebentar lagi.”
Ketika Faisal ingin membuka mulutnya lagi untuk bicara bahwa ia ingin turun sesegera karena tidak tahan menahan keinginan buang air, sesuatu yang besar melaju sangat cepat di samping Ayahnya. Benda itu menabrak mobil Ayahnya hingga menimbulkan bunyi gebrakan yang keras. Sesaat, Faisal tidak sadar apa yang terjadi. Tubuhnya yang berlindung di pelukan sang Bunda hanya gemetar. Sementara matanya yang menjadi saksi mulai membuka. Dia melihat semuanya yang ada di luar mobil terbalik. Nafasnya sesak karena posisi yang sempit. Dan dia melihat darah mengucur dari kepala Ayahnya dengan wajah yang sudah tidak berbentuk dan bahkan tidak didefinisikan sebagai wajah manusia.
“A-yah...” lirihnya dengan bibir bergetar.
Dia menggerakkan matanya lemah untuk melihat Bundanya. Mata wanita itu terpejam. Pelipisnya juga berdarah dan yang membuat Faisal ngeri yaitu sebuah potongan kaca terbenam di kening Bundanya.
“Bunda, hiks, hiks.”
Suara-suara di luar tak ia indahkan. Dia mendapati cahaya terbuka di samping kepala Ibunya. Pintu itu ada yang membukanya. Seorang pria tua dengan rambut sedikit beruban dan ada kacamata bulat terpasang di kedua matanya, telah mengulurkan tangan untuk meraih lengan Faisal keluar.
“Bertahanlah, Nak semuanya akan baik-baik saja,” kata pria yang memakai mantel itu.
Pria itu mendekapnya. Memberi rasa hangat disaat tubuhnya kedinginan hebat.