Tahun, 2003.
Embun yang menyambut hari diiringi terbitnya sang fajar menyinari rumah keluarga Paman Tundra. Halamannya yang rapih nampak sepi. Sebuah kaca mengkilap ditabrak sinar dari luaran. Faisal menuruni tangganya menuju ke ruang utama dengan langkah pelan. Sangat pelan dan hati-hati. Dia sengaja bangun sejak masih pagi dan membereskan semuanya supaya hari ini bisa keluar karena dia janjian lagi dengan Manda di tempat biasa.
Dari ruang tamu, Faisal tak melihat apa-apa. Karena memang ini terlalu pagi sekali. Dan hanya ada foto-foto anak gadis yang menunjukkan berapa lama ia tinggal di sana. Kurang lebih enam tahun. Foto itu menunjukkan umur Risa yang bertahap. Dari mulai foto yang sedang naik sepeda dengan gigi ompong, naik komedi putar, menonton tayangan kartun Dora, dan yang paling terakhir yaitu bertemu orang utan di kebun binatang. Mereka terlihat mirip. Dalam hati kecil Faisal.
Jangan tanyakan kenapa tidak ada foto Faisal! Karena tentu saja Paman Tundra dan Bibi Megi tidak pernah meminjamkan kameranya selain panci gosong dan wajan tentunya. Faisal hanya boleh memegang peralatan dapur, alat pembersih dan juga barang-barang yang akan dibersihkan. Dia bahkan belum pernah menonton kartu di televisi. Masa remajanya benar-benar tidak dibuat main. Melainkan kerja dan kerja.
Faisal kemudian membuka pintu dengan hati-hati lalu menutupnya kembali. Dia bergegas lari sebelum Bibi Megi bangun dan mengetahui lotengnya terbuka yang berarti ia sudah lenyap dari penjara itu. Dia dengan cepat menyeberangi danau dengan menggunakan perahu dan lari menuju puncak bukit yang bertikar rumput. Dia duduk menunggu Manda menemuinya.
“Faisal!”
Manda memekik saat pertama kali melihat wajah Faisal yang memar. Dia menatap iba sahabat satu-satunya itu. Menyentuh luka itu dengan kengerian.
“Aku tidak apa-apa,” tepis Faisal, pelan. Dia terkejut sekali tiba-tiba gadis itu teriak dan lari ke dekatnya.
Akan tetapi Manda tak mengindahkan suara itu. Dia bergegas mengeluarkan sesuatu dari kotak berwarna putih yang dibawanya. Faisal sudah tahu kotak apa itu tanpa perlu bertanya dan Manda juga sudah tahu kenapa Faisal selalu mengajak ketemuan sehari sebelum dia terluka. Dia akan memperkirakan kalau luka itu akan didapat malam tadi.
“Sungguh aku tidak apa-apa, Manda.”
Bagaimana dia bisa dikatakan tidak apa-apa?
Lukanya tidak hanya di dekat matanya, tapi sudut bibirnya dan juga lengannya.
Dan dia bilang tidak apa-apa?!
Tuhan, dia itu sekuat apa memangnya?
Manda merasa bersalah sekarang. Dia terluka karena membelanya kemarin. “Maafkan aku Faisal, ini gara-gara aku.”
“Siapa bilang ini karena mu? Ini karena aku. Kau tahu, aku dendam padanya sejak masih kecil. Itu sebabnya aku ikut membantu mu melawannya. Aku merasa, kita satu tujuan.”
“Faisal, ini tidak bisa dibiarkan. Kau harus berbicara pada entah siapa di sekolah. Supaya guru-guru tahu bahwa kau mendapat kekerasan di rumah mu.”
“Jangan berlebihan seperti itu, Manda. Aku sudah biasa. Lagipula, aku ini laki-laki. Tak perlu mengadu seperti bocah perempuan.”
“Ku obati luka mu ya.”
Faisal membiarkannya. Tangan mungil itu meneteskan obat luka ke kapas dan menempelkannya ke memar di wajahnya satu persatu. Dan Faisal selalu merasakan sesuatu panas menjalar di tubuhnya saat nafas gadis itu menyentuh kulit wajahnya.
“Kenapa menatap ku seperti itu?”
Reflek Faisal menundukkan tatapan cepat. Dia mengerjap-ngerjapkan mata. Apa yang barusan dia lakukan?
Kenapa jantungnya berdentum keras?
Faisal menelan ludah sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Bagaimana kabar Ayah mu?” ia bertanya ragu. Sekedar pengalihan untuk menutupi kegugupan yang dia ciptakan.
“Dia membawa perempuan ke rumah,” jawab Manda.
Gadis itu sekarang terdiam. Perasaan khawatirnya berubah menjadi kosong dan matanya menatap hampa pada rumput.
Faisal tidak tega melihat sekedar bibir itu yang hilang rasa. Sebelumnya Manda selalu bercerita tentang Ayahnya yang duda itu. Jadi sebenarnya kedua orang tuanya berpisah saat Manda masih kecil. Saat berumur enam tahun. Ibunya yang sekarang dirawat di rumah sakit itu depresi karena perlakuan suami barunya. Dan Manda selalu berkunjung ke rumah sakit itu karena tak ada kerabat lain dari keluarga Ibunya. Sementara Ayahnya sudah tak ingin lagi mengenal Ibunya. Bukan karena dia gila, namun karena Ibunya Manda pernah mengkhianatinya dulu.
“Kau serius?”
”Kenapa jadi bahas aku sih? Kita itu lagi membicarakan tentang paman dan bibi mu.”
Manda tersadar jika dirinya sedang mengobati luka Faisal. Maka ia kembali melanjutkannya.
“Masalah mu lebih penting Manda. Aku sungguh. Ini sudah biasa. Paman ku sudah terbiasa memukul ku,” kata Faisal selalu berkata dengan nada datar seolah tak memiliki ekspresi.
“Terbiasa ya ... Ha! Rasakan!” Manda dengan geram menekan luka Faisal, membuat pemuda itu meringis dan berdecak sebal, “Tikus! Kau ingin membunuh ku?”
“Habisnya kau bicara seperti itu terus. Sekalian saja ku tambah lukanya.”