Faisal baru saja selesai sarapan pada pukul sembilan pagi ini. Kebetulan Pak Imron akan pergi karena rumah aslinya mesti dikunjungi satu minggu sekali kalau tak ingin rumahnya diakui sebagai milik laba-laba dan kelelawar.
Setelah sarapan, barulah giliran Faisal yang melenggang pergi.
Kali ini, di kedua tangannya tak lagi kosong. Ada dua jinjingan berisi peralatan melukis dan tidak lupa juga dengan cemilan untuk bekal di bukit seharian ini.
Faisal ingin melewatkan hari-hari cerah ini dengan menata bukit bersama Manda.
Menanami beberapa bunga-bunga baru dan menghiasi daun-daun pohon dengan kartu-kartu cantik yang berisi kata-kata motivasi.
Faisal tidak perlu khawatir akan terkena hukuman karena pulang terlambat. Dan tak ada yang lebih menyenangkan lagi dari semua itu selain keberadaan Manda di hadapannya saat ini.
Gadis itu duduk di dekat batang pohon. Kakinya menyamping, dari kepalanya ada bando yang Faisal buat dari ranting-ranting daun dan disusun menjadi bulat. Dihiasi daun merambat serta bunga-bunga kecil. Rambutnya yang lurus kemerahan semakin memperkuat aura kecantikannya.
Apalagi Manda mengukir senyuman indah yang bagi Faisal sebuah candu yang kian membuat degup jantungnya berolahraga.
Sambil memegang kumpulan bunga mawar yang ranum, Manda menghela nafas pelan.
“Faisal, apa masih lama?” kata si objek.
“Sebentar lagi.”
“Aku sudah pegal tahu.”
“Tahan saja.”
Setelah waktu yang cukup lama. Faisal akhirnya menaruh kuas dan menghela nafas lega.
“Nah, sudah.”
“Coba ku lihat!”
Manda nampak bersemangat. Dia lari mendekati Faisal dan mengalungkan kedua tangannya di leher Faisal dari belakang. Sepasang matanya semakin bersinar terang.
Lukisan yang baru dibuat Faisal itu sungguh luar biasa. Membuat dirinya semakin takjub akan keahlian Faisal dari segala hal.
Jika ada yang bertanya siapa orang paling pintar di dunia ini, paling pandai, paling jago, paling kuat dan tabah, maka Manda akan menjawabnya dengan sangat bangga: Dialah Faisal, sahabatnya. Dialah orang itu. Dialah yang pantas mendapatkan penghargaan atas kesabarannya.
“Aku suka gambar-gambar mu. Lain kali kau gambar kita berdua, supaya bisa jadi kenang-kenangan. Kau kan nanti akan pergi keluar kota.” Ujung rambut Manda menari-nari diterpa angin.
Faisal bangkit mengajak Manda pindah ke atas karpet yang tersaji beberapa makanan di tengahnya.
“Kapan-kapan deh. Oh iya, ini. Aku ada sesuatu untukmu.”
Faisal menyodorkan sebuah buku harian berwarna cokelat, bertuliskan Diana Amanda di sampul pertamanya.
Manda sangsi di tempat.
“Ulang tahun ku masih lama, Faisal.”
“Anggap saja ini hadiah karena kau rajin belajar.”
Manda sambil meluruskan kakinya di atas karpet. Kaki satunya menindih kaki lainnya. Sedangkan kedua tangannya bertumpu ke belakang.
“Mentang-mentang aku memberi mu buku diary, kau juga mau memberi ku buku diary,” gerutunya.
“Kau tak suka? Kalau tak suka biar aku ganti saja dengan yang lain.”
“Tidak,” kata Manda cepat. “Aku suka kok tetapi kau dapat uang darimana?”
Faisal tidak pernah jajan selama ini. Uang yang didapatkannya hasil dari kerja serabutan hanya bisa membeli dua porsi makanan dalam satu hari. Manda jadi heran mengetahui Faisal bisa membeli sebuah buku Diary dari pada buku tulis yang dibutuhkannya.
“Selama aku tinggal dengan Pak Imron aku selalu membantunya bersih-bersih sekolah. Selama Pak Hamid sakit. Dia memberi ku cukup banyak uang saku. Kadang tiap hari dia memberi ku uang,” tutur Faisal.
“Pantas akhir-akhir ini aku mengamati mu agak beda ya, seragam mu bagus, sepatumu juga baru, apa Pak Imron membelikan mu tas juga?”
Faisal mengangguk.
“Dia terlalu baik pada ku. Makanya aku membalasnya dengan bekerja di sekolah.”
Sunyi yang cukup lama. Angin dari barat berdesir melewati celah-celah di antara rimbunan rumput pendek. Sesekali angin juga menghembuskan ke arah satu pemuda dan gadis itu. Menggoyangkan helaian demi helaian rambut dan menerbangkan balon-balon sabun yang ditiup Manda.
Sebenarnya balon itu tidak penting. Tapi Manda menyukai suasananya. Terasa jadi lebih estetik. Terutama pada saat air danau tertimpa cahaya senja. Membuat nyaman suasana hati siapapun yang melihatnya. Tetapi, di saat asiknya Manda memperhatikan itu semua, Faisal diam-diam mencuri tatapan. Dia tak perduli tentang indah dunia. Menurutnya ada yang jauh lebih indah lagi, yaitu senyuman Manda. Senyuman yang mampu menghipnotisnya dalam satu detik saja. Senyuman yang menjadi alasan dia bertahan selama ini. Senyuman itu... Baginya sudah seperti nafasnya. Karena dia akan sesak saat melihat Manda sedih atau menangis. Semakin Manda tersakiti Faisal akan semakin kehilangan nafasnya.
Manda menoleh tiba-tiba membuat Faisal reflek menoleh ke arah lain.
“Oh iya, bulan depan ada pentas seni di sekolah. Kau akan ikutan kan Faisal?”
Mata Faisal bergerak ke kiri dan ke kanan dengan sangat liar. “Tak tahu.”
“Ikut dong. Kau kan jago main piano dan biola.” Manda mengguncangkan lengan Faisal memohon.
“Kau sendiri bagaimana?” Faisal bertanya seraya menoleh kaku. Dua bola matanya selalu mengarah ke telinga Manda karena tak mampu melihat matanya atau bahkan hanya ujung hidungnya saja.
“Mungkin aku akan ikut seni teater. Aku ingin jadi princess,” kata Manda.
Tubuh Faisal langsung menegak. Dia seperti tersengat sesuatu.
“Kalau kau jadi princess berarti akan ada pangeran?”
“Tentu saja.”
“Siapa?”
Tak bisa dipungkiri lagi bahwa Faisal semakin takut serta penasaran. Setiap kali ada yang ingin mendekati Manda, hatinya selalu menjengit.
“Belum tahu. Belum ada yang mencalonkan diri.”
Baguslah. Lebih baik tak ada sekalian.
Manda sama sekali tidak melihat raut Faisal yang mendadak bete.