SERENADE

Ratih Abeey
Chapter #13

12.

Lereng gunung di utara tempat Manda tinggal terlihat terbungkus kabut putih sejauh mata memandang. Faisal mengayuh sepeda milik Manda melintasi jalanan yang landai. Manda yang berdiri di belakangnya dengan menahan kaki pada pedal belakang, hanya berpegang pada pundak Faisal, dia terlihat menikmati alam segar di minggu pagi ini dengan mengangkat dagunya ke arah sinar matahari ketika angin menerpa wajahnya serta membuat rambut hitam panjangnya melambai-lambai ke belakang.


“Manda, coba kau rentangkan tangan mu,” kata Faisal di sela-sela mengayuh sepeda.


“Untuk apa?”


“Agar kau bisa terbang seperti burung itu.”


Telunjuk Faisal mengarah ke udara. Di atas mereka tepat dua ekor burung alap-alap sedang berputar-putar  dengan anggun.


“Aku takut jatuh, Faisal.”


“Kau tidak akan jatuh selama kaki mu berpijak dengan kuat.”


Manda menghela nafas. “Baiklah.”


“Dan jangan lupa pejamkan mata mu.”


Tangan yang memegang pundak Faisal itu perlahan tapi pasti terlepas. Dengan sedikit gemetar Manda melebarkan kedua tangannya. Menutup matanya. Menikmati. Faisal benar. Ini menyenangkan daripada apapun. Rasanya, tak bisa dilukiskan lagi dengan kata-kata.


“Sekarang kau teriakkan apa yang kau inginkan.”


Sambil mengayuh kedua pedal di sisi kanan kirinya, Faisal menerbangkan Manda yang mulai menikmati setiap inci bulu-bulu matanya tertabrak angin. Gadis itu berteriak sekencang-kencangnya. Lupa dengan jalan menukik. Lupa sudah kalau dia takut jatuh. Lupa dengan segalanya.


“AKU INGIN TERUS BERSAMA FAISAL SELAMANYA!”


Apa?


Faisal tertegun mendengarnya. Tetapi tidak mungkin mereka akan bersama selama itu.


Bukannya Faisal menginginkan perpisahan. Hanya saja, di masa depan nanti mereka pasti memiliki keluarga dan kehidupan baru. Karena tidak selamanya kita akan berada bersama dengan orang yang sama. Kecuali Faisal sendiri. Di dalam hatinya sudah tertanam bahwa dia hanya akan menganggap Manda keluarganya.


“Manda.”


“Ya?”


Manda masih melebarkan senyuman di balik punggung Faisal. Faisal gagap.


“A-Apa kau serius?”


Gadis itu lantas turun dari atas pedal begitu sepeda terhenti di tempat datar. “Apanya yang serius?” katanya, menatap intens wajah lelaki yang sedikit menundukkan kepalanya.


“Masa depan. Apa kau lupa di masa depan mungkin ada yang memisahkan kita?”


Tetapi Manda menggeleng cepat.


“Aku tidak perduli. Selama aku berada di masa ini. Aku akan tetap menikmatinya bersama mu, Faisal.”


Diam-diam Faisal mengukir sebuah senyuman.


“Karena akan sangat naif sekali disaat kebahagiaan di masa depan nanti, tapi kita melupakan masa-masa yang kita lalui bersama di masa dulu.”


Dia berjalan ke sisi jurang. Berdiri di atas batu besar yang dikelilingi kebun teh. Lalu, duduk belunjur. Memegang sebuah buku yang biasa digunakan untuk melukiskan sesuatu. Semenjak Faisal mengajarinya melukis, Manda sudah dapat dikatakan pandai dalam bergelut dengan kanvas dan pensil. Bahkan ia tak ketinggalan dari buku yang bersampul cokelat dengan nama dirinya di depan. Lalu nama Faisal di belakangnya. Buku yang mereka gunakan untuk melukiskan tempat-tempat yang mungkin hanya akan menjadi kenangan di masa depan nanti.


Faisal mengikutinya selepas menaruh sepeda ke sisi batu. Dia ikut duduk di samping Manda. Dengan kedua lutut berdiri dan kedua tangan menahan pada lututnya.


“Mungkin di masa depan nanti kita akan menjalani hidup masing-masing, tapi kita tetap bisa bertemu, berteman dan bisa tetap saling tertawa. Bukan begitu, Faisal?”


“Ku harap juga seperti itu.”


Entah apa yang dipikirkan Manda kali ini. Faisal sama sekali tidak dapat membacanya seperti biasanya. Dia melihat ada arti di setiap kalimat Manda. Mungkin. Mungkin saja ada sesuatu yang Manda sembunyikan darinya atau belum ingin diceritakan. Faisal sendiri akan sabar menunggu sampai Manda mau menceritakannya.


Manda menolehkan wajahnya. “Faisal, kalau ku perhatikan ... Risa sepertinya mendapat masalah. Dia lebih sering menyendiri dan kemarin kau lihat-kan wajahnya? Di wajahnya banyak luka memar.”


Apa pedulinya dengan gadis itu. Ya. Risa memang sepupunya. Tetapi Faisal sudah cukup membalas budi kepada gadis itu dengan membantunya mengeluarkan Ayahnya kembali. Lebih baik Faisal tak usah ikut campur lagi urusan mereka.


“Apa jangan-jangan dia dilukai Ayahnya?”


Sedikit. Hati Faisal sedikit tersentuh. Selama ini penyiksaan itu diderita olehnya. Selama ini dia cukup kenal Tundra yang sering kali emosional. Kalau ada Faisal, Tundra akan menyalurkan emosinya dengan memukul tanpa sebab atau hanya karena kesalahan kecil. Manda benar. Bagaimana kalau Pamannya itu melukai anaknya sendiri karena dia tahu, Risa sering sekali membuat kesal semua orang. Mungkin dia bisa membuat ayahnya sendiri kesal lalu Ayahnya yang pemarah itu sewaktu-waktu melukainya.


“Kau temani aku ya, aku ingin ke rumah Paman Tundra hari ini,” katanya tiba-tiba.


“Mau apa?” tanya Manda.


Lihat selengkapnya