DUAR!
Hampir.
Hampir saja kepala Faisal jadi sasaran amukan Tundra. Beruntungnya, Faisal bisa melesatkan tembakan itu ke udara sebelum Tundra menarik senapannya.
“Apa yang ingin kau lakukan, Paman?”
“Tentu saja membunuh mu, Faisal!” pekik Tundra geram. “Kau sudah membunuh istri ku. Maka yang pantas kau dapatkan kembali adalah kematian. Kematian dibalas kematian, Faisal!”
“Kau sudah gila!” teriak Manda.
Dia cemas melihat Tundra tidak kunjung melepaskan senjata api itu dari Faisal yang menahannya agar tetap teracung ke udara.
“Aku tidak membunuh Istri mu,” desah Faisal putus asa.
Susah payah mengarahkan senapan agar tetap ke udara. Sesekali Faisal mendorong Tundra agar melepaskan senapannya. Dia juga menarik senjata itu tapi tenaga Tundra cukup kuat.
“Oh, ya? Tentu saja kau dendam pada keluarga ku. Setelah aku tak ada, kau akan membunuh keluarga ku satu persatu,” hardik Tundra.
Faisal mencicit. Beberapa kali pemuda itu mengibas-ibaskan senjata api yang diperebutkanya bersama Tundra.
“Jika aku memang ingin membunuh. Sudah akan ku lakukan sejak awal. Sejak kau belum dipenjara. Kaulah yang menganiaya ku selama ini. Kau juga yang menganiaya Risa. Seharusnya kau tanyakan pada diri mu sendiri.”
“Kau pantas mati, Faisal.”
Tundra mendorong Faisal. Sesaat tangan Faisal sempat terlepas dari senapan sebelum menggenggamnya kembali, mengarahkan ke langit.
“Manda, lari!” Faisal berseru panik. Situasinya semakin sulit. Tangannya seperti kebas dan kehilangan tenaga.
“Apa?”
“Lari! Ku bilang lari sekarang!” bentak Faisal. Suaranya parau. Tidak tahan. Tidak punya tenaga lagi.
“Tapi kau bagaimana?”
“Jangan pikirkan aku. Cepat lari! Cari orang atau polisi. Cepat! Aku akan menahannya.”
Manda sangsi di tempat. Keringatnya mengucur. Tubuhnya berputar ragu. Sebelum akhirnya benar-benar lari meninggalkan Faisal.
DUAR!
Terdengar suara tembakan yang kedua kalinya. Manda tak berani menengok lagi ke belakang. Tidak tahu apa yang terjadi. Tapi dia sudah menitikkan air matanya.
Ku mohon... Ku mohon Tuhan... Tolong lindungi Faisal. Tolong kami.
Sepersekian detik berlalu. Siluet lampu di ujung jalan sudah terlihat. Manda mengeluh. Menunduk. Air matanya jatuh mengenai aspal. Dia tidak mungkin meninggalkan Faisal begitu saja. Ya. Jika ada yang mati bukan salah satu dari mereka. Tapi harus keduanya. Manda berbalik kembali dengan sigap. Namun sebuah tangan mencekal pergelangan tangannya lebih dulu. Dia menegang.
“Kau mau ke mana?”
Manda tersentak. “Faisal,” tidak lagi berpikir panjang. Dia langsung saja menabrak tubuh tegap itu. Menangis di bahunya. “Ku pikir... Ku pikir aku akan kehilangan mu.”
“Hentikan air mata itu. Kita harus kembali lari. Tadi aku hanya dapat menjatuhkannya, dia masih bisa mengejar kita.”
“Mau kemana kau, anak sial!”
Dari kejauhan Tundra menyusul, susah payah badan besarnya diajak berlari. Faisal dan Manda saling menoleh. Suasana mendadak panik kembali. Terutama daerah di sekitarnya merupakan jalan sepi. Tak butuh waktu lama lagi, Faisal menarik Manda menuju ke jalan mati di bahu kanan jalan. Lari terus ke arah danau. Faisal tahu, ini satu-satunya jalan pintas agar sampai ke pemukiman dengan cepat jika bisa melintasi danau.
Suasana mendadak lenggang terasa. Langit gelap dan pekat menyulitkan mereka menemukan langkah kakinya.
Payoda hitam menutupi berjuta bintang dan bulan. Hanya kerlip kunang-kunang menjadi satu-satunya cahaya yang bisa mereka lihat. Bahkan, angin pun seolah tidak ingin berdesau. Derik jangkrik hilang.
Kaki mereka tertahan di tepi danau.
Beruntung tidak tersesat. Faisal mulai mengeluh. Manda sejak tadi terdiam, mengusap dahinya yang berkeringat.
“Faisal, sebenarnya apa yang terjadi tadi? Aku mendengar suara tembakan apa dia melukai mu?”
“Mungkin jika aku tidak mendorongnya ke tanah tembakan itu akan mengenai kepala ku. Dan aku langsung lari. Kau tidak apa, kan?”
Manda menggeleng. “Lalu kita harus apa sekarang?” dia bertanya.
“Menyusuri danau ini. Kita temukan perahu di ujung sana. Maka kita bisa menyebrang dan sampai dengan cepat ke daerah tempat tinggal mu.”
Saat Faisal dan Manda istirahat sejenak, kelelahan. Saat satu pesawat melintas di langit. Saat itulah Tundra meloncat dari balik semak dan menerobos kunang-kunang yang berkumpul. Mukanya terlihat begitu menang.
“Rupanya kalian di sini?”
Faisal mundur. Manda mencicit di sampingnya memegang lengannya. Tundra menyeringai, tertawa sarkas.
“Bodoh kau, Faisal, kau pikir aku tidak akan tahu kau akan pergi ke mana?” dia mengacungkan sebuah buku harian milik Manda yang sepertinya jatuh saat akan pergi ke jalan mati.
“Ku mohon Paman, kau boleh memukul ku lagi sesuka hati mu. Tapi lepaskan kami berdua.”
“Tidak semudah itu Faisal, aku tidak akan tahu jika sewaktu-waktu kau akan memasukkan lagi aku ke penjara.”
Manda menggigit bibir. Faisal bisa merasakan Manda amat ketakutan karena tangannya gemetaran di sampingnya.
Entah kenapa. Faisal menarik Manda ke belakang tubuhnya. Dia maju satu langkah. Bersitatap dengan bola mata buas Tundra yang begitu berhasrat membunuhnya.