Himpunan rumput masih menebarkan bau embun. Angin berhembus menerpa helaian rambut hitam Faisal. Cahaya hangat menyambutnya dari segala arah. Itu adalah pagi di jam istirahat pertama. Dia duduk menyandar pada batang pohon. Di atasnya sepasang burung berkicau, saling melompat, saling mematuk dan mendorong. Dia sama sekali tidak terusik oleh jeritan dan hiruk pikuk suasana di lorong-lorong koridor. Lagipula dia selalu fokuskan diri dengan buku apapun yang dibacanya. Sehingga masalah seperti itu baginya tidak mengganggu.
Meskipun menunggu Manda adalah hal yang paling tidak disukainya, Faisal setiap hari selalu setia dengan janji-janji pertemuan bersama gadis itu. Seperti sekarang ini, Manda sudah berpesan akan menemuinya di taman. Agak aneh juga sebenarnya, mengapa Manda memilih taman. Sementara yang Faisal tahu hanya perpustakaan tempat yang menjadi tujuan ketika Manda ingin diajari tentang pelajaran yang didapatnya di kelas.
Manda memang memiliki kebiasaan aneh. Dia selalu minta Faisal yang menjelaskan tentang pelajaran di kelas. Padahal, para guru sering kali menjelaskan secara rinci. Tapi Manda sulit sekali memahami setiap apa yang disampaikan para guru itu. Terkecuali Faisal yang menjelaskan.
Tak hanya itu. Kadang Faisal juga rela menjelaskan berkali-kali sampai Manda benar-benar paham betul. Dia begitu sabar mengajarinya. Atau bahkan terlewat sabar.
Ekor mata Faisal berpaling sebentar dari buku, bergerak ke arah selatan dimana dia menangkap siluet Manda yang sudah terlihat dan mulai menghampiri ke arahnya. Namun, ada yang lain kali ini. Dia tidak sendirian. Melainkan bersama sosok lain yang tidak begitu familiar di benak Faisal.
Kerutan dalam pun muncul di dahi Faisal. Dia segera berpaling kembali ketika kedua orang itu sudah semakin mendekatinya. Dia pun mengangkat buku tinggi. Pura-pura tak menyadari bahwa Manda datang.
“Faisal.”
Suara Manda terdengar begitu semangat sekali, sebaliknya, Faisal hanya bergumam. Membiarkan saja Manda bicara dengan sampul bukunya.
Manda pun menyentuh lengan Faisal, “Aku ingin memperkenalkan mu pada seseorang,” lanjutnya.
Mau tidak mau, Faisal menurunkan buku yang menghalangi wajahnya. Sehingga netra abu dan mata hitam miliknya bertatapan. Manda berdiri di samping Faisal dengan menarik lengan kokohnya agar ikut bangkit.
“Zidhan, kenalkan ini Faisal sahabat ku dari kecil. Dan Faisal, ini Zidhan teman satu kelas ku.”
Pemuda berambut hitam berantakan dengan seragam dikeluarkan itu mengangkat tangan, meminta menjabat kepada Faisal.
Faisal membalasnya. “Faisal,” katanya, selalu terkesan dingin.
Kepala pemuda itu terangkat dengan pongah. “Zidhan Aldebaran.”
Tak ada yang dapat Faisal puji dari Zidhan. Penampilannya sangat tidak mencerminkan watak seorang pelajar baik. Tetapi meski begitu, Faisal mencoba agar tidak menilai dari segi berpakaiannya saja.
Pada saat jabatannya sudah terlepas, Faisal memutuskan untuk berbicara sebentar dengan Manda. Menariknya menjauh dari Zidhan yang lagaknya songong sekali.
“Kenapa kau memperkenalkannya pada ku?” bisik Faisal, kali ini entah kenapa sangat terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya.
“Aku ini satu panggung dengannya di pentas teater. Dia jadi lawan main ku. Dia yang jadi pangerannya,” tutur Manda.
“Lalu?”
“Kau, kan pernah bilang pada ku,” decak Manda. “Untuk memberitahu siapa saja orang yang akan dekat-dekat dengan ku?”
Faisal kembali memandang Zidhan. Pemuda itu balas memandangnya dengan senyum raja. Kemudian dia menghampiri Manda. Memegang pergelangan tangannya begitu saja. Membuat Faisal maupun Manda melotot melihat itu.
“Baiklah. Faisal, kami harus kembali pergi. Senang bertemu dengan mu, Bung.”
Meskipun Manda pada akhirnya melepaskan tangannya dari pegangan Zidhan, Faisal dari kejauhan menahan sebal atas kedatangan Zidhan.
“Kenapa gerak-geriknya terlihat sangat mencurigakan sekali?”
Faisal tanpa sadar meremas kertas di depan dadanya. Melemparnya hingga kertas itu berakhir di tempat sampah. Tepat sekali.
“Faisal, kenapa kau buang kertas ku?”
A-Apa?
Terkejut Faisal melihat sorot kecewa Ratih tentang kertas yang dibuangnya barusan. Rupanya Faisal tak menyadari kedatangan gadis itu.
Mengapa dia tiba-tiba ada di sini?
“Kau tahu itu lirik lagu yang menurut ku cocok untuk pentas seni nanti,” gerutu Ratih. Bibirnya cemberut.
Faisal yang tidak sengaja melakukan itu memandangi tempat sampah. Dia tidak jijik kalaupun harus memungut kertas itu kembali. Tetapi kali ini dia sedang malas untuk apapun, suasana hatinya entah mengapa berubah agak sedikit panas. Meski begitu, Faisal tetaplah Faisal. Meskipun dia baru saja melakukan kesalahan yang membuatnya malu sendiri, dia tetap memasang muka datar.
“Kau tidak perlu repot mencari lagu yang cocok. Karena aku sudah punya lagunya.”
Perkataan itu hanya kamuflase Faisal. Dia tidak benar-benar mempersiapkan dengan matang lagu ataupun instrumen apa yang akan dia tampilkan di pentas seni nanti. Bahkan saking bodohnya Faisal untuk hal ini, dia melewatkan berhari-hari meminjam buku tentang lirik lagu yang menurut banyak orang sedang trendi di masa itu. Dia juga mencoba mendengarkan musik The Beatles di radio milik Satpam gerbang. Tapi tak ada yang cocok dengan hatinya.
Selama hampir satu minggu.
Satu minggu Faisal dan Manda sudah jarang bertemu. Mereka sibuk dengan latihan masing-masing. Kadang Faisal yang tidak latihan, tapi Manda yang justru sedang sibuknya. Kadang juga sebaliknya. Mereka hanya bertemu pada saat jam istirahat serta kelas tambahan saja.
Dan kalau saja ada yang memperhatikan. Manda dan Zidhan semakin hari semakin dekat sekaligus akrab. Dan orang yang dengan bodoh mengawasi Manda dari kejauhan itu hanyalah Faisal itu sendiri.
Lebih dari yang dia bayangkan. Tidak seperti penampilannya yang berantakan. Rupanya, Zidhan pandai membuat seseorang tertawa dengan tingkah dan leluconnya. Bahkan Manda lebih ceria, lebih banyak tersenyum bersamanya. Apa selama ini Faisal terlalu kaku?
Memang mungkin. Bahkan Faisal juga berpikiran, barangkali Manda akan bosan berada di dekatnya kalau terus saja merasa nyaman bersama Zidhan. Sewaktu-waktu, Zidhan akan dapat menguasai hati dan pikiran Manda. Yang lebih memungkinkan lagi, Faisal takut akan kehilangan Manda. Seperti ketakutan yang menghantuinya selama ini.
“Bagaimana kalau kita memakai lagu dari Nike Ardilla... Mungkin juga kita bisa pakai lagu....”
“Omong-omong, kau kenal Arya cukup jauh, kan, Ratih?” Faisal menyela ucapan Ratih.
Ratih yang sedari tadi sibuk berdiskusi, tercekat. Matanya mencari keberadaan Arya, tapi kemudian sadar bahwa tidak ada yang membicarakan Arya karena netra Faisal tertuju pada Manda.
Lebih tepatnya, pandangan Faisal memang tidak pernah terlepas dari Manda.