SERENADE

Ratih Abeey
Chapter #16

15.

Tepat pada pukul sebelas siang musik klasik Beethoven-Sonata Pathetique Op.2 menggema di ruangan musik. Di tempat luas itu hanya ada satu orang yang duduk. Menikmati kesendirian yang menjadi sahabatnya selama tak ada Manda. Faisal menganggap sepi adalah sebagian hidupnya kedua dari hadirnya Manda. Dan musik sebagai yang ketiga. Itu sebabnya, jarang sekali Faisal terlihat berdesakan di kantin ketika jam istirahat pertama berlangsung.


Bahkan tidak banyak orang yang tahu siswa bernama Faisal Arghanta ketika ditanya. Tapi jika sangat buntu ingin menanyakannya, cukup katakan siswa si rambut berminyak dengan wajah pucat—maka mereka akan tahu jawabannya adalah siswa di ruang musik.


Manda sendiri tidak pernah bertanya seperti itu. Dia sudah hafal sekali tabiat Faisal. Mereka yang bertanya biasanya orang-orang yang memiliki keperluan mendesak. Ratih contohnya. Gadis itu datang di depan pintu ruang musik tepat ketika Manda juga datang.


“Oh hai, Manda.” Ratih menyapa. “Kau juga akan menemui Faisal?”


Manda mengangguk samar.


“Baiklah. Kebetulan. Aku ingin menitipkan lirik lagu. Aku tidak tahu apa yang Faisal pikirkan akhir-akhir ini. Tapi semoga saja dia cepat-cepat memutuskan lagu apa yang akan dia bawakan. Karena kami sudah harus latihan serius. Kau mau tidak membujuknya untuk cepat mengambil keputusan?” tanya Ratih. Memberikan selembaran kertas garis.


“Ya. Tentu.”


Ratih bernafas lega. “Terima kasih. Aku pergi dulu, eh.” Dia mengambil langkah seribu menuju ke kantin.


Kini hanya tinggal Manda seorang diri. Dia merenung. Apa yang dipikirkan Faisal sehingga mengganggu konsentrasinya?


“Apa kau sudah makan?”


Manda tersadar oleh suara Faisal. “Ya. Um ... Maksud ku belum. Aku lupa bawa bekal.”


“Kalau begitu tunggu apalagi? Kita ke kantin!”


Eh.


Sejak kapan Faisal ingin makan di kantin?


“Tumben kau ingin makan di kantin?”


Faisal menggaruk tengkuk yang sama sekali tidak gatal. “Itu karena ...”


“Karena?”


“... Karena Ratih berkata aku harus mulai berani untuk berada di depan umum. Ya.”


Hal pertama yang Manda amati, Faisal kali ini berkeringat. Seperti habis lari maraton. Biasanya dia tidak selelah itu bermain piano. Apa karena dia sengaja mengajak ke kantin karena janjian dengan Ratih? Karena bisa saja Faisal gugup akan bertemu gadis itu.


Padahal kenyataannya, Faisal sedang melakukan beberapa tips berinteraksi sosial karena dia tahu bahwa Manda lebih ceria ketika banyak orang serta berbaur dengan orang baru. Mungkin Faisal juga akan mencoba menjadi orang yang ramah, berteman dengan semua orang dan yang paling penting dia ingin membuat lelucon yang bisa menghibur Manda.


“Itu tidak penting sih. Tapi tadi Ratih menitipkan ini. Apa kau ada masalah Faisal? Siapa tahu aku bisa membantu?”


“Ah, tidak.” Faisal meraih kertas dari tangan Manda. “Tidak ada masalah.”


“Kalau tidak ada masalah kenapa kau belum juga mendapatkan lagu mu?”


Itu karena beberapa hari ini Faisal masih mencari lagu yang mengandung makna dimana liriknya dapat mengungkapkan perasaannya kepada Manda.


“Hanya gugup. Ini pertama kalinya aku ikut pentas seni lagi setelah aku kehilangan orang tua ku.”


Mereka benar-benat pergi ke kantin. Beruntung tempat itu tidak seramai biasanya, tak banyak murid karena mereka memilih pergi ke lapangan untuk menonton Zidhan dan tim bolanya bermain.


Baru saja Faisal hendak memesan makanan dengan mengacungkan tangan ke udara. Tiga pemuda datang dengan peluh di wajah dan juga leher mereka. Salah satunya memaksa mengambil celah untuk duduk di tengah antara Faisal dan Manda.


“Hai, Manda. Hai... Faisal.”


Hanya dengan melirik dengan ujung ekor matanya saja, Faisal sudah tahu dia siapa. Memangnya siapa di sekolah ini yang memakai seragam berantakan selain orang itu.


Dua pemuda lain duduk di seberang meja. Yang satu kancing seragamnya terlepas semua sehingga kaos putih yang dikenakannya tampak. Yang satu lagi memakai bandana di kepalanya.


“Zidhan, tidak bisakah kau mencari tempat duduk lain?” tegur Manda merasa sesak karena tubuhnya dekat ke tembok. “Masih ada satu kursi lagi di sana.”


Zidhan. Pemuda berambut berserak itu menoleh pada kursi lain. Tetapi kemudian mengibaskan tangannya.


“Aku tidak bisa duduk di sana. Terlalu terbuka. Nanti banyak gadis datang mendekati ku.”


Faisal mendengus pelan mendengar itu. Sombong sekali.


“Ada apa Faisal? Ku dengar kau baru saja mengendus susah payah. Apa hidung mu tersumbat biji kelereng?”


“Zidhan....”


“Aku hanya bergurau Manda. Faisal. Tak usah dimasukkan ke hati ya, aku tidak pantas kau cintai.”


Zidhan menepuk pundak Faisal tapi Faisal mengelaknya cepat. Apa sih maunya duduk dengan kaki melebar seperti ingin melahirkan?


Pantat Faisal hanya menerima sebelah kursi untuk duduk saking tak mau pindah.


“Manda, kau bersama Faisal pasti ingin makan. Aku traktir tenang saja,” ujar Zidhan dengan sok.


“Iya, Manda.” Arya. Sahabat Zidhan ikut menambahkan. “Zidhan itu baru saja dapat hadiah dari Ayahnya karena menang pertandingan.”


“Aku akan makan asal Faisal juga makan,” sahut Manda.


Lihat selengkapnya