Perlu setidaknya tiga hari untuk ia kembali melanjutkan aktivitas yang biasanya dilakukannya. Selama tiga hari itu, Faisal memilih berdiam diri di ruang musik di setiap jam istirahat. Dan dia terlihat orang-orang hanya pada saat masuk kelas saja. Ia masih agak tersinggung oleh celaan orang-orang itu mengenai rok yang ia kenakan waktu lalu.
Kejadian itu memang memalukan. Itu lebih parah daripada yang sering dia dapat dari Risa dan kawan-kawannya.
Hari semakin redup saat Faisal pergi ke kelas di lantai kedua. Ia seperti biasanya membersihkan ruang kelas dan memeriksa kolong-kolong meja. Ia juga mengeluarkan sampah-sampah di laci setiap meja. Dan lebih banyak sampah di temukan di kelas yang dihuni oleh Manda. Meski begitu, laci meja Manda justru yang paling bersih. Dan paling wangi karena Faisal menyemprotkan parfum di setiap memeriksanya. Tapi ia juga harus menahan kesal karena ia ingat siapa yang duduk di samping Manda.
Terkadang, Faisal mencoret-coret meja Zidhan yang dipenuhi tulisan tentang kata cinta (yang menurut Faisal sangat payah) ditunjukkan kepada Manda.
Lebay sekali.
Mendadak bikin mual membacanya.
“Apa ini?” Tangan Faisal berada di dalam loker miliknya, memeriksa sepatunya yang baru ditinggalkan untuk membersihkan lantai koridor. Ia meraba-raba setiap sudutnya. Dan mendapati sesuatu benda yang berat, dingin dan berbulu tipis. “Kenapa lembek sekali?” ia pun menariknya keluar dari dalam sana, dan betapa syoknya saat ternyata dia baru saja memegang tikus yang sudah mati. Ia reflek melempar bangkai itu ke udara dan mundur.
Suara tawa khas memenuhi ruangan itu. Tiga pemuda sudah selangkah masuk di pintu. Mereka terbahak dan memegangi perut mereka. “Kau. Haha. Kau menemukan apa Feisal?”
“Astaga. Dia mendapatkan hadiah dari penunggu sekolah!” Arya berseru disusul tertawa lagi bersama Zidhan.
“Hey, dia, kan penunggu sekolahnya.” sahut Pian. Di bawah ketiaknya ada bola yang digenggam.
“Kalian yang menaruh tikus di loker ku?” tanya Faisal berang.
“Mungkin tikus nyaman tidur di loker mu. Hingga ...” Pian berpura-pura mencekik lehernya sendiri. “... Kekk. Mati.”
“Hahaha.”
Faisal merapatkan matanya sebentar. Ingat. Kalau dia menunjukkan sisi lemahnya dengan marah pada tiga orang konyol itu, maka mereka akan merasa semakin puas karena telah berhasil mempermainkannya. Hingga ... menang.
“Kasihan tikus ini ...” Faisal mulai tak acuh. Mereka berhenti tertawa saat Faisal melipat kedua tangan di dadanya dengan cuek. “Belum pernah memasuki tempat lain yang jauh lebih buruk daripada mulut kalian, jangan-jangan para tikus tahu mulut kalian sangat bau.”
“Apa kau bilang Feisal?” kerutan di kening Zidhan menonjol.
“Ah tidak. Aku hanya bilang kalian tak tahu kalau di sekolah ini benar-benar ada penunggunya.” Faisal bergumam dengan mimik muka ceria.
“Omong kosong,” timpal Pian. “Mana ada yang seperti itu?”
“Tapi faktanya ada. Di gudang paling belakang yang gelap dan suram. Dari kejauhan aku selalu melihatnya dan jika kalian tak ingin melihat juga jangan datang pukul sepuluh malam,” kata Faisal lagi. “Mungkin kalian akan terkencing-kencing di celana.”
Faisal mengedikkan bahu sebelum ia pergi meninggalkan mereka dengan wajah-wajah seperti di ruangan rapat pelantikan Presiden.
“Dia tidak berkata benar, kan Doggy?” kata Arya kepada Zidhan.
“Ku rasa ... tidak,” sangsi Zidhan.
Tapi rupanya tidak sehebat yang dikatakan orang-orang mengenai Zidhan dan dua temannya, bahwa mereka hebat di segala bidang.
Karena pada kenyataannya, mereka sangatlah bodoh untuk mempercayai dan membedakan mana perkataan benar atau menyesatkan.
Malamnya. Ketika rembulan enggan memancarkan sinarnya. Ketika area sekolah hanya diterangi lampu yang temaram, ketika itulah tiga pemuda jahil itu memasuki sekolah. Berjalan ke belakang ke tempat yang jauh lebih gelap dan hening. Satu-satunya cahaya hanya dari senter yang mereka bawa.
Pian mencicit dan memegangi lengan Arya dengan mata awas ke setiap sisi yang dilintasinya. Sekilas, matanya salah menangkap. Sekali dilihat, sesuatu yang menjulang tinggi itu merupakan pohon. Tapi saat dilihat kembali, bergoyang-goyang lambat dan tertiup angin. “Itu terlihat seperti Zombie,” cicit Pian.
“Kau serius ingin masuk, Doggy?” ucap Arya. Dia agak risih sebenarnya digerayangi Pian terus. Sesekali dia harus menepisnya, tapi kemudian lelah dan membiarkan saja seperti itu.
“Monkey, kalau kita tidak masuk ke dalam, kita tidak akan tahu ada apa di dalam sana,” jawab Zidhan.
“Tapi Zidhan kau tak lihat gudangnya gelap sekali?” tangan Pian bergetar di lengan Arya.
“Kau takut, Piggy?” Zidhan mengulas senyuman meremehkan “Kau lelaki apa?” ledeknya. “Ku beritahu ya, lelaki sejati tak takut kegelapan.”
Sedetik itu juga kaleng bekas jatuh dari atas setinggi dua meter. Zidhan melompat dengan wajah pucat dan Pian reflek naik ke gendongan Arya. Mereka bertiga berwajah tegang.
Arya menyorotkan senter ke benda itu. Rupanya ada tikus di atas lemari yang baru saja menjadi penyebab kaleng tadi terjatuh.
“Tenanglah,” katanya, “itu hanya tikus. Lelaki sejati tidak pernah takut tikus.”
“Ya. Kau benar.” Zidhan menegakkan kembali tubuhnya dan memukul dada kanannya. “Lelaki sejati tidak pernah takut. Ayo kita jalan lagi.”