Dua hari selepas Faisal demam akibat dicekoki miras oleh siswa dari sekolah sebelah, di desa sebelah ramai dipenuhi oleh masyarakat yang kebanyakan remaja dan anak-anak. Sejak lepas senja. Ada pasar malam yang ditunjukkan setiap malam minggu. Faisal menggenggam tangan Manda yang berwajah riang sejak mereka sampai di sana.
Banyak pedagang dan wahana main yang membuat Manda tidak berhenti tersenyum untuk mencobanya satu-persatu. Ia juga membeli gulali dan main lempar paku di mana hadiahnya adalah sebuah boneka kecil berbentuk beruang. Faisal yang mendapatkan boneka warna coklat itu dan diberikan kepada Manda.
Keduanya, benar-benar terlihat seperti sepasang merpati liar yang saling bercengkrama dan menikmati kebahagiaan bersama.
Semuanya memang terasa indah, dan menyenangkan, sebelum kemudian tiba-tiba saja asa ledakan petasan di depan mereka.
Zidhan dan geng onarnya. Sebut saja mereka The Blacklist. Orang-orang dengan catatan hitam yang mesti dihindari jika hidup mu ingin tetap nyaman dan aman.
Beruntungnya, kali ini mereka sama sekali tidak menganggu Faisal, hanya saja mereka menganggu orang-orang lain dengan melemparkan korek api di dekat kaki para remaja yang sedang bergandengan.
Alhasil, para remaja itu menjauh dan menutup telinga mereka dengan dua tangan, karena dikira petasan yang akan meledak.
Entahlah karena Zidhan tidak ngeh atau bagaimana saat melintasi Faisal dan Manda. Faisal hanya sedikit heran saja kenapa orang itu kali ini tidak menganggu?
Mungkin di malam hari matanya memang katarak.
“Apa dia selalu seperti itu?” ujar Faisal dengan nada datar. “Mencari keonaran?”
Manda mengikuti arah pandangan Faisal yang tertuju kepada Zidhan. “Dia memang senang bertingkah konyol. Dan menghibur orang-orang.”
Faisal mendengus geli. “Menghibur dengan cara mempermainkan nyawa orang ... Aku rasa dia belum pernah merasa dipermainkan oleh malaikat.”
“Maksudnya?”
“Ah, tidak.”
Tentu Faisal tidak akan mengingat bagaimana kecelakaan bersama orang tuanya. Ia berpikir tidak akan hidup lama setelah melihat kematian orang tuanya, tapi ternyata luka kecil yang ada di samping hidungnya sama sekali tidak akan membuatnya mati.
Di lain waktu ketika Faisal melintas lapangan dengan membaca buku, ada sebuah bola mendarat di atas buku itu hingga membuat bukunya jatuh ke tanah. Ia sempat membersihkan buku itu setelah memungutnya sebelum ia masukkan ke dalam ransel.
“Woi Feisial!”
Faisal hanya menatap datar orang yang berteriak seperti di hutan itu.
“Aku ingin menantang mu bertanding sepak bola.” Dari lengan Zidhan, kain berwarna kuning terikat. Tulisan di kain itu adalah ‘Faisal berminyak’.
“Kau ingin cari gara-gara lagi?” Manda datang seketika dan berdiri di depan Faisal. Gadis itu sudah seperti pahlawan wanita dalam komik yang sering dibaca Zidhan.
“Aku hanya ingin menunjukkan padanya.”
“Menunjukkan apa?”
“Kau akan terlihat pengecut jika tidak menyanggupi tantangan ku. Dan rok itu cocok dengannya.” Orang-orang di belakang Zidhan tertawa ringan.
“Baiklah kau ingin apa?” respon dari Faisal yang kini berjalan satu langkah.
Manda segera menahannya. “Jangan Faisal.”
Tapi Faisal tak mengindahkan kalimat itu. Ia tetap maju dan menatap lurus ke mata Zidhan yang berwarna abu.
Zidhan mengangkat kepalanya agak congkak. “Jika aku menang,” katanya, “Manda harus memaafkan ku.”
“Kenapa kau bawa-bawa aku sebagai taruhan?” protes Manda marah.
“Karena sebaliknya. Aku tidak akan pernah mengganggunya lagi, jika dia yang menang. Dan kau bisa pakai rok dua kali jika kalah.” Di akhir kalimat itu Zidhan berbisik ke telinga Faisal hingga yang tahu perjanjian ini hanya mereka berdua.
Seorang pemuda dengan kaos olah raga, mendekati Faisal. “Bagaimana bisa kau tanding dengan Faisal? Kau kapten, tidak sebanding dengannya.”
“Kalau begitu ... Arya. Kau gabung-lah, dengannya.” Zidhan meminta dengan pandangan tetap ke arah Faisal. Arya tampak terkejut sekali dia akan satu team dengan saingan sahabatnya.
“Apa? Aku? Kenapa tidak Pian saja?”
“Kenapa harus aku?” Pian sama tidak menginginkannya. Bergabung dengan orang seperti Faisal, bagi mereka itu seperti penurunan pangkat presiden.
“Arya kau dan aku itu seimbang. Kita tidak mungkin satu tim dan dia. Dia. Dia bahkan tidak bisa kencing dengan lurus apalagi menendang bola dengan benar.”
Zidhan terkekeh-kekeh bersama geng konyolnya itu. Arya lain lagi, malah merajuk seperti seorang gadis.
“Doggy, aku tidak ingin meninggalkan mu,” keluhnya.
“Jangan alay. Cepat!” perintah Zidhan mutlak.
Tapi Faisal dengan cepat menolak. “Tidak perlu.” Zidhan berpaling. Satu alisnya terangkat. “Kau bisa tetap bersamanya. Aku tidak ingin bermain dengan orang yang curang.”
“Kau menuduh ku akan curang?” Arya sontak merasa dirinya sangat hina. “Asal kau tahu, aku akan setia pada mu. Baiklah Zidhan ayo kita lakukan. Mulai sekarang kita bukan teman, kau Pian, jangan harap kau memanggil ku Monkey Money. Dan jangan minta uang ku lagi selama aku menjadi teamnya.” Dia menggerutu sepanjang pergi ke tengah lapangan dan berdiri di depan gawang sebagai keeper.
“Kau siap Faisal?” tantang Zidhan.
Seseorang meniup peluit dan disusul melempar bola ke udara. Lalu bola itu jatuh ke tanah dan langsung dikuasi oleh Zidhan.
Zidhan menggiring bola itu tanpa perlawanan sama sekali dari Faisal. Hingga dengan mudahnya, Zidhan mendekati gawang, tempat Arya berdiri. Arya bergerak ke kiri ke kanan bersiap-siap. Dan dalam tiga detik Zidhan sudah berhasil membuat gol dengan menendang bola ke pojok gawang.
“Gooool!”