Sebuah kain basah ditempelkan di kening Faisal yang berbaring di sofa. Pak Imron yang duduk di sofa tunggal di sisi kepala Faisal, menarik mangkuk air ke dekatnya di atas meja.
“Faisal ... Kamu ini sebenarnya kenapa?”
Faisal hanya menggeleng lemah pertanda jawaban.
Malam semakin larut. Panas tubuh Faisal belum juga reda dari semenjak sore. Alih-alih suhunya turun, malah semakin naik setiap waktu berlalu. Pak Imron merasa iba dengan Faisal yang bahkan untuk bangun saja tidak bisa. Padahal beliau sangat tahu, anak didiknya ini berambisi dalam belajar.
“Kalau kamu lelah bantu-bantu Bapak di sekolah, istirahat. Jangan terlalu dipaksakan. Akibatnya kamu sakit seperti ini.”
Faisal yang berbalut selimut dengan wajah pucat hanya termenung, bukan prioritas sebenarnya mementingkan pekerjaan sekolah. Ia hanya berada di dalam pengaruh otaknya yang tidak berhenti memikirkan Manda. Kalimat menyakitkan itu. Tangisannya. Telah membuat otaknya beku sekarang.
Sementara itu, di luar, hujan masih mengguyur sejak tiga jam yang lalu dan sama sekali tak ingin berhenti. Faisal sendiri bingung, di antara dirinya dengan Manda. Yang ia rasakan sekarang adalah benci saat ia harus mencintainya. Benci saat dia tak bisa berbuat apa-apa. Selain diam membendung semuanya sendirian lagi. Ia benci perasaannya sendiri. Itu hanya menjadi bumerang tak bertepi. Dan karena hal itu ia tak perduli lagi dengan kesehatan tubuhnya.
Dalam keremangan lampu kamar dari jarak 1 kilometer, Manda terduduk di sisi bingkai jendela. Meratapi segala sesuatu yang ada di depan matanya. Ia menyayangkan mengapa Faisal jadi benci kepadanya. Padahal ia lalukan semua ini untuknya.
Esoknya matahari terbit di timur. Itu hari yang berat karena Manda belum berani bertemu Faisal lagi. Tetapi, ia agak sedikit bingung mengapa Faisal belum juga terlihat. Dari sejak masuk kelas hingga jam istirahat, Faisal sama sekali belum nampak di mana pun. Ia jadi curiga kalau Faisal memilih diam di kelasnya.
Saat seperti itu, Manda berpapasan dengan Ratih di koridor. Manda yakin gadis itu tahu sesuatu. Maka ia segera menghampirinya yang berdiri di sisi balkon.
“Hai,” sapa Manda.
Ratih membalasnya. “Oh, hai.”
Jari-jari tangan Manda bermain resah di belakang tubuhnya. “Um ... Aku tak melihat Faisal. Di mana dia?” tanyanya agak ragu.
“Memangnya kau tidak tahu?”
Manda menggeleng dengan wajah tak mengerti.
“Dia tidak masuk hari ini. Dia demam. Aku baru saja menjenguknya barusan.”
“Faisal demam?”
“Ya. Dia bahkan tidak bangun dari semalam.”
Manda kembali terdiam. Faisal sakit? Dan itu karena dirinya. Tidak salah lagi. Kemarin Faisal kehujanan dan sampai menggigil hanya menunggu agar Manda keluar dari rumah. Tapi alih-alih ditemui Manda, Faisal justru ditemui oleh Wati. Dan diberitahu agar pulang saja, karena Manda masih menangis.
“Apa kau ingin menengoknya juga?”
Suara Ratih menyadarkan Manda. Ia segera mundur satu langkah. Bibirnya mengatup sekejap. “Tidak. Maksud ku. Aku sedang sibuk oleh tugas kelompok dan ... Bisakah aku titipkan ini kepada mu untuk diberikan padanya?”
“Apa itu?”
“Sebuah buku.”
“Maaf, Manda. Tapi aku harus latihan biola di jam istirahat ini. Aku tak tahu kapan akan menemuinya lagi.”
“Tidak apa. Kau bisa berikan padanya kapan pun.”
“Kenapa kau tidak berikan sendiri saja?”
Manda terdiam agak lama. “Itu karena aku ada janji dengan Zidhan. Aku permisi.”
Gadis itu berlalu begitu saja. Ratih tak berhenti menatap punggungnya sampai Manda benar-benar menghalang. Ratih merasa aneh akan sikap Manda yang tiba-tiba saja tidak ingin menemui Faisal. Bukankah dia dan Faisal sudah seperti sepasang sepatu?
Yang ke mana-mana mesti berdua?
Tapi kenapa Manda sekarang malah mengincar?
Di ruangan Pak Imron. Faisal merasa lebih baik. Ia sudah bisa duduk dan mengambil minum sendiri. Sebelum itu, ia agak kesusahan untuk sekedar menurunkan kain basah di keningnya.
Pintu diketuk dari luar. Faisal segera beranjak untuk membukanya, ia agak terkejut mengapa Ratih kembali lagi menemuinya setelah dua jam lalu baru saja berkunjung. “Masuklah. Ada apa kau ke sini lagi?”
Faisal sudah kembali duduk di sofa. Ia dan Ratih duduk dengan sofa berbeda. Ratih tak berkata apapun di sampingnya, gadis itu hanya menghela napas pelan seraya menunjukkan sebuah buku yang tidak asing bagi Faisal.
“Bagaimana buku ini bisa ada pada mu?”
“Jangan tersinggung Faisal. Buku ini ada padaku karena Manda yang menitipkannya.”
Mendadak raut wajah Faisal jadi bete. Pemuda itu menatap ke arah lain dan berpikir jika Manda sangat serius ingin dia menjauh.
Sial sekali.
Faisal yang belum sembuh betul pada akhirnya bangkit. Ia berjalan ke luar dari ruangan Pak Imron. Ratih tidak berbicara apapun, gadis itu mengikuti dengan patuh. Dan ternyata, Faisal ke belakang sekolah. Danau yang masih menyatu dengan danau yang sering ia dan Manda datangi. Bedanya, di sini masih dipenuhi rumput tinggi serta tak banyak orang tahu.
Pemuda itu duduk di tepi danau. Ia melempari batu kecil ke permukaan air yang tenang itu. Menunjukkan perasaan sesalnya lewat ketenangan. Ratih masih berada di belakangnya, sebelum akhirnya ikut duduk di sisi Faisal dan menyentuh pundaknya.
“Faisal, apa kau tidak ingin cerita pada ku?”