SERENADE

Ratih Abeey
Chapter #22

21.

“Jangan bergerak. Aku sedang obati luka mu.”


Lagi-lagi Faisal meringis merasakan nyeri pada memar yang baru didapatkannya dari orang konyol tadi. Zidhan. Dia benar-benar keterlaluan. Sok. Dan apa tadi dia bilang? Manda miliknya?


Jauh sebelum dia kenal Manda, dia seharusnya tahu siapa yang pantas untuk mengatakan kalimat itu. Dia hanya orang asing baru yang tidak punya malu.


“Akkkh!” pekik Faisal.


“Ku bilang jangan bergerak!” geram Ratih.


“Tapi ini sakit.”


“Salah sendiri tidak memberikan perlawanan. Kau kalau tetap seperti ini, mereka akan tetap menganiaya dirimu.”


Hal yang dilakukan Ratih juga sama sekali tidak membantu. Gadis itu, terus menekan dengan es batu seakan ingin menambah rasa sakit saja.


Dan lagipula, kenapa rasanya berbeda saat Ratih yang mengobatinya? Luka itu sama sekali tidak sembuh secepat Manda yang mengobati.


“Dia memukul ku saat aku menatap Manda. Dan kau juga sih.”


“Kenapa salahkan aku?”


“Kau yang menyuruhku minta maaf padanya.”


Bugh!


“Kenapa kau memukul ku?”


“Itu adalah cara agar bisa membuat mu sadar.”


Saat seperti itu, ada sepasang mata yang menatap nanar ke arah mereka dari kejauhan. Ada yang diam-diam menjatuhkan sapu tangan. Ada yang jauh lebih terluka daripada memar di bawah kantung mata Faisal.


Manda yang berniat mengobati Faisal, kembali berbalik. “Ternyata, dia ingin minta maaf hanya karena menuruti permintaan Ratih. Ku pikir, dia tulus melakukan itu.”


Faisal menoleh ke belakang. Ia seperti merasakan keberadaan Manda, tetapi ia terlambat. Karena yang dilihatnya sekarang hanya rumput bergoyang yang ditimpa angin sore. “Seharusnya dia membela ku,” gumamnya. “Dia benar-benar berubah.”


Ratih menjejalkan kain di atas tangan Faisal. Ia berdiri dengan raut sebal. Ia tak mengindahkan tatapan Faisal yang berubah keheranan.


“Hey, kau mau ke mana?”


“Pulang,” ketusnya. “Aku tidak mau mengobati orang yang sedang patah hati. Itu menyusahkan.”


“Tapi aku tidak patah hati. Asal kau tahu itu!”


“Yayaya ... Aku tak perduli.”


Ternyata tebakkan Faisal benar, Ratih memang berbeda dengan Manda. Lihat saja cara dia menolong!


Manda tidak pernah memarahinya seperti yang Ratih lakukan sekarang. Dan Manda juga tidak marah dengan cara pergi darinya.


Faisal mencoba kembali pada ingatan bersama Manda tadi. Apa dia tidak salah lihat?


Manda memejamkan matanya saat jarak wajahnya tinggal beberapa senti lagi dengannya.


Apa itu artinya dia mengizinkan jika ia menciumnya?


Sial.


Ia kebingungan sekarang.


“Aku tidak patah hati.” Menatap kain yang tergeletak di sampingnya. ‘Tapi aku hanya kehilangan seseorang yang ku harapkan terus berada di sisiku ....’


Hari berganti begitu cepat. Kejadian di bukit itu, terlupakan dalam kurung waktu satu Minggu. Dan Faisal sudah berjanji, bahwa ia tak akan membuat Manda menangis lagi karenanya serta tak akan mengulangi pertengkaran di antara mereka lagi.


Jika itu terjadi, ia akan siap melepas Manda.


Jika ia yang menyakiti Manda, ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri.


Acara pentas seni sekolah di mulai saat panggung telah berdiri, di depan aula keesokan harinya. Faisal duduk dengan gugup, ia terlihat malu sekali karena memakai pakaian rapih tidak seperti biasanya.


Rambut minyaknya lebih tertata lagi dan mengkilap seperti sepatu yang terpasang di kedua kakinya. Ratih yang meminjamkan sepatu itu. Dan kebetulan ukuran kaki Faisal dan adik laki-laki Ratih memang tidak jauh beda.


“Faisal, kau sudah siap?”


Faisal mengintip keluar dari belakang panggung. Ia bisa melihat kursi yang ada di hadapannya sudah dipenuhi para guru dan juga murid-murid lain. Tapi ia tak melihat tanda-tanda keberadaan Manda.


“Aku belum melihat dia di kursi penonton.”


Mengikuti arah tatapan Faisal. Ratih langsung mengerti apa maksudnya. “Mungkin dia sibuk mempersiapkan drama teaternya.”


Faisal kembali termenung.


Ia sama sekali tidak bicara semenjak tampil diurutan pertama hingga ia turun kembali dari panggung.


Kali ini, tidak ada yang membuatnya merasa sesak untuk mengingat kedua orang tuanya. Ia bermain piano seperti sedang latihan saja.


Seharusnya, tidak ada lagi kata lupa. Seharusnya Faisal tersenyum dengan penampilan pertamanya. Tetapi karena Manda lagi-lagi membuatnya kecewa dengan ketidakhadiran dirinya, ia agak menyesal mengapa ia harus membawakan instrumen yang ditunjukkan khusus untuk Manda.


“Faisal ....”


Faisal tertegun. Ia menarik napasnya sebelum berbalik. Tersenyum tipis.


Sekarang. Ia bisa melihat raut sesal seorang gadis dengan gaun seperti di cerita dongeng.


“Maaf ... Aku terlambat.”


“Tidak apa-apa. Kau bisa melihatnya di rekaman sekolah nanti.”

Lihat selengkapnya