SERENADE

Ratih Abeey
Chapter #23

22.

Kepakan sayap burung berhenti tepat di satu ranting. Membangunkan satu burung lain yang mengantuk akibat disorot hangatnya senja. Dua remaja yang duduk di bawahnya sama sekali tak terusik meski beberapa daun jatuh di kepala mereka.


Dengan kaki lurus, Faisal duduk tepat di sisi kanan Manda. Kedua tangannya bertumpu ke belakang.


Seperti biasa, rambut hitamnya selalu bergoyang tertimpa angin.


Manda sesekali meliriknya. Canggung. Barangkali sudah lama mereka tidak berbincang selama itu.


“Sudah lama ya kita tidak ke sini.”


“Apa aku terlalu sibuk?”


“Tidak. Aku yang terlalu sibuk. Setiap hari aku harus di perpustakaan dan sore hari aku harus membersihkan sekolah.”


Hening cukup lama.


Burung tak berhenti hinggap di satu dahan ke dahan lainnya. Bermain bak anak kecil yang menyukai ayunan.


Faisal tahu Manda sedang merasa tak enak soal pentas waktu itu, tapi Faisal mencoba mencairkan suasana agar gadis itu tak melulu merasa bersalah kepadanya. Lagipula, Faisal mencoba melupakannya. Ia tak mau hal itu jadi membuat kedekatannya dengan Manda kembali renggang.


Dan lagipula masalah itu tak penting lagi. Karena yang terpenting sekarang adalah Manda ada di sisinya. Ia tak mau melewatkan kebersamaan ini dengan saling mendiamkan.


Bukankah itu merugikan?


“Bagaimana kabar orang tua mu?”


Sesaat Manda tersentak. “Mereka baik.”


“Apa mereka menanyakan kabar ku?”


“Iya. Mereka bilang, kapan-kapan kau harus mampir.”


“Bagaimana kalau besok?” ucap Faisal bersemangat. “Besok hari libur. Kau tidak ada acara bukan?” tanyanya, memastikan jika Zidhan tidak melulu mengajak Manda berkencan. Sebab nilai matematika Manda sudah mulai kembali turun lagi.


Bergumam. “Sepertinya tidak ada.”


“Kalau begitu, besok aku akan ke rumah mu.”


Mengangguk.


Rasanya memang agak aneh, ketika tahu Manda yang cerewet jadi dingin seperti ini. Faisal menyesalkan jika sikap Manda harus berubah hanya karena orang pembuat onar itu. Pasti Manda takut Zidhan marah karena mereka bertemu berdua.


“Faisal.”


“Ya?”


“Sudah larut. Aku harus pulang.”


Faisal segera beranjak dari duduknya. “Ayo!”


“Tidak. Maksud ku. Kau tidak perlu mengantar ku pulang.”


Wajah Faisal berubah keheranan. Kalimat Manda terdengar seperti penolakan biasa. Tapi bagi Faisal itu seperti ujung pisau.


“Jangan bercanda. Aku tidak mungkin membiarkan mu pulang sendirian.”


“Aku tidak sendirian.”


Faisal menoleh ke seberang danau. Rupanya ada Zidhan yang berdiri di jembatan tak berhubung dengan dua tangan berkacak pinggang. Wajahnya sangat memuakkan. Zidhan tidak hanya memeragakan kalau Manda tak perlu lagi pengawal, tetapi ia secara terang-terangan ingin memisahkan kedua sahabat itu.


Faisal tidak ada pilihan. Ia menghela napas pelan. “Baiklah. Hati-hati di jalan.”


Manda sempat melirik kembali wajah Faisal sebelum ia melangkah semakin jauh. Tetapi Faisal dengan segera membuang wajahnya. Sehingga Manda tak mengetahui kalau pemuda itu sedang menatap nanar ke arahnya barusan.


Tenang saja Faisal. Besok semuanya akan kembali seperti semula. Kau hanya perlu mengambil kembali apa yang sudah orang itu rebut darimu.


“Faisal, kamu ingin pergi ke mana?”


Esok pagi yang agak mendung, Faisal mengikat tali sepatunya. Pak Imron yang memakai sarung sambil duduk dengan segelas kopi hitam, baru saja melihat putera angkatnya keluar dari pintu di akhir pekan.


“Hari ini saya akan pergi ke rumah Manda, untuk berkunjung.”


“Pantas saja penampilan mu rapih sekali. Mau bertemu calon mertua ya,” goda Pak Imron. Hidung Faisal memerah dibuatnya. “Astaga Faisal, baru kali ini lho Bapak lihat kamu tersenyum malu-malu.”


Faisal menggaruk tengkuk kepalanya meskipun tidak ada rasa gatal. Ia tak bisa menutupi lagi perasaan malunya tatkala dikatai begitu. Pasalnya, hanya Manda saja yang tahu bagaimana saat ia tersenyum bak iklan pasta gigi.


Namun, persis seperti biasanya, tidak berapa lama senyum Faisal lenyap. Ia menyatukan dua alisnya melihat Pak Imron mengeluarkan dompet coklat  buluk yang usianya sudah hampir setara dengan umur Faisal.


Dompet kenangan muda Pak Imron dengan istrinya saat masih pacaran. Bahkan ada foto usang yang dapat Faisal tebak bahwa itulah almarhum istri Pak Imron. Akan tetapi bukan hal itu yang membuat Faisal bingung, ada hal lain. Dua lembar uang dengan pecahan tidak sedikit. Dan itu diberikan oleh Pak Imron dengan cuma-cuma untuknya.


“Nah, ambil!”


“Tapi, Pak, Anda sudah memberi saya uang kemarin ....”


“Tidak apa-apa. Kamu kerja sangat keras, Faisal. Uang saku mu tidak sebanding dengan keringat mu setiap hari.”


Faisal hanya berkedip tanpa menjawab.


Lihat selengkapnya