“Lo berubah, Rim!”
“Haah?!” Respon Karim sebelum menyantap makan siangnya.
“Nggak kayak dulu.” Karim masih cuek makan. Sementara Shafira hanya mengaduk-aduk koah baksonya. Ia menggigit bibir bawah sambil sesekali menatap mata Karim dengan sinis.
“Berubah gimana sih?” Kali ini Karim meletakkan sendok makannya. Kepalanya diangkat menatap Shafira lebih tegas.
“Ya elu nyadar lah. Elu nggak seasik dulu, Rim. Disentuh dikit langsung ngindar. Kesannya gue murahan banget tau gak?” Rahang Karim semakin terlihat jelas menopang pipinya. “Dulu kan elo malah yang sering pegang-pegang gue, jambak rambut gue, angkat-angkat rok gue.”
“Ya itu kan waktu SD.” Protes Karim. “Sekarang nggak masalah dong kalo gue lebih menghargai wanita.”
“Tapi nggak sejauh ini juga laah.” Shafira menyentuh punggung tangan Karim. Spontan Karim memberontak dengan halus. Shafira memindahkan jemarinya. Kini kedua lengannya ia lipat di atas meja. “Ok, gue tau elo lulusan pesantren, tapi nggak usah berlebihan banget lah.”
“Gua biasa ajah kok, elu nya ajah kali yang berlebihan dalam menilai.” Shafira membuang pandangannya pada Karim. Beberapa detik mereka saling diam.
“Kita nggak usah bahas ini,” kata Shafira kemudian. Pandangannya tetap mengarah pada semangkuk bakso. Sepuluh detik berlalu tanpa suara. Shafira mulai menimbang-nimbang ucapan. Lalu akhirnya ia berujar; “Jadi kapan main ke rumah? Nyokap ngarep tuh.”
“Gak tau. Bokap masih di Makassar. InsyaAllah kita udah sempet bahas kok.”
“Oh ya, kakak lo kuliah di mana sekarang?”
“Di Canberra. Lanjut kuliah magister di sana.”
“Wiih.. keren banget ya.”
“Lo ambil jurusan apa, Ra?”