Terik matahari belum usai memanggang tanah UNJ, mengepulkan hawa panas yang mengisi setiap penjuru. Karim buru-buru menuju ke luar gerbang. Di keningnya, keringat telah membelah diri. Kemudian pecah menggeliat di pelipis. Karim jarang sekali terlihat seperti itu. Ia melintasi jembatan, lalu menunggu metromini menuju Pondok Kopi. Selang beberapa menit, bus yang ditunggu datang, Karim masuk dan mencari tempat duduk. Bus masih ngetem. Karim tampak merebahkan tubuhnya. Setengah memejamkan mata, lalu sayup-sayup ia terkesiap melihat Shafira. Gadis itu kaget melihat wajahnya. Dia masih celingukan mencari tempat duduk. Hanya ada satu bangku kosong tersisa, yaitu di pojok sebelah Karim. Derum metro kembali terdengar berat, tanda benda ini akan segera melaju.
“Duduk samping Pak Ustadz,” gumam Shafira agak meledek. Karim bergeser ke pojok. “Kok tumben sih lo naek metro?”
“Motor lagi di-service.”
“Ouuh.. Alhamdulillah ya pas banget Rim kita ketemu. Jarang-jarang loh.”
“Hehe.. iya.”
“Kok gak seneng gituh sih?”
“Seneng kok. Seneng banget!”
“Au ahh Rim.” Karim beralih menatap ke luar jendela.
“Elu emang biasa naik metro ginih ya?” tanya Karim sampil mengelap keringat di dahinya.
“Oh iya dong. Gue bukan anak manja yang minta dianter jemput. Lagian naik metro tuh seru tau Rim.”
“Seru apanya? Panas.”
“Ya elo rich people. Panas dikit ngeluh. Biasa naik taksi kan?” Karim tak membalas. Ia hanya berusaha menahan rasa kesalnya karena panas yang menggigit.
“Nih Rim. Bentar lagi gue kasih unjuk keseruannya.”
Selang beberapa detik, seorang pengamen ikut masuk ke metro. Dia membawa sebuah gitar kecil, ukulele namanya. Seperti kebanyakan pengamen lain, vokalnya pas-pasan dan kadang terlalu overtone. Pengamen kali ini punya nilai plus karena jago memainkan ukulelenya. Shafira menilik pengamen itu dengan serius. Karim mengamati raut wajah Shafira yang mirip seorang guru vokal menandai kesalahan muridnya saat bernyanyi.
“Dia salah nembak bagian falsett-nya, sama ada nada-nada yang kurang naik dikit. Jadi pitchy.” Shafira berbicara sendiri, walau tentu ia sedang menunjukkan kualitas ilmu seni musiknya pada Karim. Tidak berapa lama, konser dadakan itu usai, Shafira berdiri dan berbisik sejenak pada pengamen itu. Laki-laki pengamen yang masih muda itu tampak senang sekali. Dia memainkan lagu lagi. Kali ini Shafira yang bernyanyi.
Semua pandang beralih menatap Shafira. Gadis cantik itu menggeser spotlight yang tadinya milik sang pengamen. Sebuah lagu milik Anggun ia bawakan dengan begitu indah, meski permainan ukulele dari sang pengamen tampak sedikit berantakan. Bagi Karim, Shafira tidak hanya menghibur, tapi telah mengajarkannya tentang sebening kehidupan di metro ini.
Seperti yang sudah-sudah, pengamen akan senang jika berduet dengan Shafira. Orang-orang metro itu biasanya tidak segan memberi tip lebih untuk sebuah penampilan yang memukau. Ini kali keempat Shafira melakukan hal yang sama. Dua bulan lalu, mestinya menjadi yang terakhir kali ia melakukan hal ini. Ia takut banyak fitnah bermunculan dan akan merugikan ibunya. Hari ini, karena Karim, ia berani melakukannya lagi.
Karim memberikan tepuk tangan pada Shafira begitu gadis itu duduk di sampingnya. “Keren banget!” Puji Karim. Shafira masih mengamati wajah gembira pengamen tadi. Wajah gembira yang telah lama tak ia jumpai.
“Kalau bukan karena ada elo, gue ga bakal lakuin ini.”