Serendipity's Paradox

nandini s
Chapter #2

Transisi

Chapter I : Transisi

Now Playing : Breakaway by Kelly Clarkson.

Setahun yang lalu...

Perjalananku di Kota Rantau, Jakarta, membuka lembaran baru dalam hidupku sebagai mahasiswa. Meski gelar mahasiswa sudah pernah aku sandang, kali ini terasa sungguh berbeda. Dahulu, status itu melekat saat aku melangkah dari bangku SMA menuju perguruan tinggi. Kini, sebagai seorang sarjana yang memutuskan untuk meraih gelar magister, setiap langkah yang kuambil menuju kampus baru ini penuh dengan asa dan tantangan yang belum pernah kusapa.

Dengan anugerah beasiswa, aku diterima di salah satu universitas terbaik di Jakarta, sebuah lembaga yang mencetak cendekiawan dalam ilmu pertahanan dari jenjang sarjana hingga doktor. Tak hanya perwira Tentara Nasional Indonesia (TNI), masyarakat sipil seperti aku pun diberi kesempatan meraih ilmu di sini. Namun, universitas ini adalah dunia yang sama sekali berbeda bagiku—jurusan yang kukenal sebelumnya lenyap dari pandangan. Bahkan, bayang-bayang jurusan yang serupa dengan yang kuambil di jenjang S1 pun tak kutemukan. Aku pun memilih jurusan yang sama dengan yang diambil seniorku, yang kebetulan juga memperoleh beasiswa di sini.

Kenangan tentang hari-hari penuh ketegangan saat mendaftar program magister ini kembali menggelayut di benakku.

"Daftarlah beasiswa itu," saran kakakku. "S-2, biar bisa jadi dosen."

Kalimat serupa menghujani hari-hariku, padahal aku belum tuntas menyelesaikan pendidikan S-1. Saat kutenggelam dalam kepuasan setelah akhirnya menyelesaikan penelitianku, saran ini justru menyeruak, membawa stres yang tak terelakkan, terutama saat teringat rangkaian tes yang begitu panjang.

"Daftar cepat. Sebentar lagi pendaftarannya tutup," desak kakakku dengan nada tegas. "Lihat, adikmu sudah daftar S-1-nya. Bayangkan betapa bangganya jika kalian satu universitas dan sama-sama penyandang beasiswa."

Dengan berat hati, aku terpaksa mengikuti jejak adikku, meski hatiku penuh tanya, mengapa selalu dia yang menjadi tolok ukur? Padahal akulah kakaknya.

"Tapi di persyaratannya harus ada ijazah," sangkalku. "Nadia kan belum tamat, Kak."

"Makanya, cepat diselesaikan. Dari kemarin tidak selesai-selesai. Main-main terus."

"Nadia juga lagi berusaha, Kak," jawabku, mencoba menahan kesal yang terselip di ujung lidah, meski tidak kutunjukkan sepenuhnya. "Menulis skripsi itu tidak segampang membalikkan telapak tangan."

Kak Maya, satu-satunya kakakku, memiliki karakter keras, tak pernah mau mendengarkan penolakan dari adik-adiknya—baik aku maupun Sofia Amara, adik kami yang paling kecil.

"Pokoknya, Kakak tidak mau tahu. Selesaikan pendidikanmu secepat mungkin. Setidaknya gunakan SKTL-mu untuk mendaftar beasiswa itu. Segeralah bergegas sidang."

Di titik ini, aku merasa tak punya pilihan lain. Desakan demi desakan akan terus menghimpitku hingga akhirnya aku memilih untuk mengalah dan menuruti permintaannya. Keputusan ini terasa bukan sepenuhnya lahir dari keinginanku. Aku sudah memiliki rencana lain, namun desakan Kak Maya memaksa langkahku menuju arah yang dia inginkan. Suaraku di sini seolah tak memiliki nilai.

"Baik, Kak," jawabku lirih.

Jika waktu bisa diputar kembali, awalnya aku tak pernah berniat mendaftar program magister di sini. Dalam benakku, setelah lulus, aku akan melanjutkan program magister dengan jurusan yang selaras dengan sarjanaku. Tekadku bulat untuk memperoleh beasiswa demi melanjutkan studiku. Aku dengar, ada satu Universitas ternama di Yogyakarta yang menawarkan jurusan yang sangat kuminati. Namun, tekad itu perlahan hancur di bawah tekanan kakakku. Tapi, bukankah sebagai adik, kita harus mendengar nasihat kakak?

“Hah? Demi apa Bang Rian kuliah disana?!” teriakku, tak percaya saat melihat story WhatsApp milik Rian Aldi, seniorku di S1 dulu, yang angkatan 2018.

“Kemana saja aku selama ini?” Aku menggerutu pada diriku sendiri yang selalu ketinggalan berita.

Dengan cepat, aku membalas story tersebut. 

Nadia Intan Melati

“Ternyata abang kuliah di sini, ya? Kebetulan Nadia daftar untuk tahun ini. Nadia mau nanya dong, Bang.”

Tak perlu menunggu lama, Bang Rian membalas pesanku.

Rian Aldi

“Iya, Nadia. Mau nanya apa?”

Lihat selengkapnya