Chapter II : Euforia
Now Playing : A New Day Has Come by Celine Dion.
Di pagi hari yang masih gelap, aku bergulat dengan jadwal kuliah yang mengharuskanku melangkah ke kampus sebelum matahari menyapa. Betapa sulitnya bagiku menyingkirkan rasa kantuk, saat malam-malam panjang tak pernah berhenti mengundangku untuk terjaga. Semester ini, perkuliahanku meliputi hari-hari dari pagi hingga senja, dengan kebanyakan dosen yang hadir secara langsung di kampus, memaksa kami untuk menembus jarak yang sempit ini.
Beberapa teman kuliahku memilih jalan daring, entah karena tuntutan pekerjaan atau alasan lain yang tidak sepenuhnya ku mengerti. Namun, demikianlah adanya—sebagian dari kami menyelam dalam lautan daring, sementara yang lain tetap menapaki tanah kampus.
Kosanku, yang berjarak hanya satu kilometer dari kampus, menjadi rumah bagi diriku dan tiga teman kuliahku. Di antara mereka, Kak Rumi, teman sekelasku yang juga berasal dari pulau Sumatera, terasa dekat bagiku. Walau kami terpisah oleh angkatan, fakultas, dan prodi, ikatan almamater di kampus S1 tetap menghubungkan kami.
Kak Rumi dan aku berangkat bersama, berusaha menghindari keterlambatan. Keberuntungan berpihak pada kami—kami tiba tepat waktu. Setibanya di kampus, mataku terpesona oleh nama universitas yang megah terpampang di depan, seolah menandakan sebuah awal yang penuh janji.
“Luar biasa,” gumamku, takjub melihat baleho besar yang menampilkan foto presiden dan menteri pertahanan.
Aku berlari kecil mengejar langkah Kak Rumi, terpesona dengan keindahan universitas baruku. Kekagumanku terus berlanjut hingga kami memasuki kelas. Suara decitan pintu kaca yang terbuka membawa perhatian dari mahasiswa yang sudah lebih dulu hadir. Ada sekitar 24 mahasiswa yang duduk dengan rapi di kelas, nuansa ruangan yang didominasi warna merah menciptakan suasana yang hangat. Meja dan kursi dibalut kain merah, sementara dindingnya dihiasi foto para pahlawan nasional.
Di depan kelas, sebuah layar proyektor berukuran besar, yang tersedia di sisi kanan dan kiri menampilkan enam mahasiswa yang mengikuti kuliah secara online.
“Wah, betapa istimewa kampus ini,” aku kembali bergumam. Aku masih teringat kampus lamaku yang sederhana, di mana kayu menggantikan kursi dan kipas angin hanya berfungsi sebagai pajangan. Kini, di sini, segala sesuatu terasa berbeda—lebih segar, lebih modern, dan penuh harapan.
Hari ini adalah awal yang dinanti, hari pertama kami menapaki jalan perkuliahan. Roster, seperti pesan dari masa depan, telah tiba dari staf prodi sehari sebelumnya. Menurut catatan itu, pagi ini kami akan mendapatkan pembekalan dari sang dekan serta wakil dekan 1 dan 2, sebagai panduan bagi kami yang masih baru dalam dunia ini.
Namun, saat mataku tertuju pada nama wakil dekan 1 yang akan menyampaikan materi, ingatan burukku kembali terbangun. Ingatanku melayang pada tes wawancara program magister, di mana aku terjebak dalam ketidaktahuan tentang pewawancara.
"Kamu tahu siapa saya?" tanyanya, menembus keheningan pagi dengan ketajaman yang membuat jantungku berdegup kencang. Mataku membelalak seolah diserang sengatan lebah, dan rasa takut menghimpitku.
Pagi itu, aku menghadapi wawancara akademik, tanpa mengetahui siapa yang akan mewawancaraiku. Walaupun tampak sepele, ketidaktahuan ini menghantui pikiranku sepanjang malam, menjadikannya obsesi yang tak henti.
"Mohon maaf, Bu. Saya tidak tahu," jawabku pelan, penuh keraguan, dengan senyum yang tampak canggung.
Ekspresi wajahnya berubah drastis. "Bagaimana mungkin kamu tidak tahu siapa yang mewawancarai kamu? Ini adalah hal yang sangat penting, dan kamu tidak bisa begitu saja acuh."