Serendipity's Paradox

nandini s
Chapter #7

Singgah

Chapter VI : Singgah

Now Playing : Gravity by John Mayer.

Angin malam yang berseliweran kini terasa lebih menusuk, seolah mengirimkan pesan dingin yang jauh lebih tajam dibandingkan dengan beberapa jam yang lalu. Malam ini, udara seakan memiliki kekuatan magis, mendinginkan setiap helai kulit dan menembus ke dalam hingga ke relung jiwa. Dalam usahaku untuk menahan kantuk yang mulai merayap perlahan, aku meneguk jus jeruk yang terhidang di hadapanku, mencoba mengusir rasa lelah dengan keasaman segar yang membangkitkan indera.

Deru motor yang terdengar semakin jarang melintas menandakan bahwa larut malam telah merayap lebih dalam, menyelimuti kota Jakarta dalam kegelapan. Namun, di kota ini, pagi dan malam seolah hanya ilusi. Waktu seakan melawan gravitasi, berputar tanpa henti dalam siklus yang tak mengenal batasan. Di sini, setiap jam adalah bagian dari tarian yang tak pernah usai, di mana manusia terus bergerak dan beraktivitas, seolah membanting waktu itu sendiri.

Di pinggir jalan pedagang ayam bakar yang kini hampir kosong, gelak tawa masih menggema. Kami menghabiskan malam panjang kami di sini, di tengah-tengah kenikmatan makan malam yang disertai dengan percakapan yang tak henti-hentinya. Berbagai topik mengemuka, seperti bintang-bintang yang bersinar di malam hari, masing-masing dengan cahayanya sendiri. Mereka berbicara dari sudut pandang yang beragam, menciptakan simfoni suara yang berputar-putar di udara malam yang sejuk.

Sementara itu, aku hanya berada di pinggir perayaan ini, berusaha memahami apa yang tertuang dalam setiap ucapan mereka. Aku menyandarkan tubuhku pada kursi, hanya mampu menyengir atau sesekali tertawa ringan mengikuti irama percakapan yang mengalir. Jika ada pertanyaan yang diarahkan padaku, aku akan menjawab dengan hati-hati, sementara saat tidak ada yang menanyakan, aku hanyut dalam alunan celoteh mereka. Seolah, di antara keramaian ini, aku adalah penonton setia dalam panggung kehidupan yang terus berputar.

"Jadi, Nadia, dari mana asalmu sebenarnya?" tanya Arga, seseorang yang barusan kuketahui namanya, dengan nada yang penuh rasa ingin tahu. Tampaknya, dia sadar akan ketidakaktifan suaraku, mengingat aku tidak banyak berpartisipasi dalam percakapan, dan tak ada yang mengajukan pertanyaan kepadaku.

"Dari Medan, Bang," jawabku dengan lembut, suaraku melayang seperti bisikan angin malam.

"Oh, begitu," sahut Bang Arga dengan nada penuh rasa ingin tahu, "Lalu, bagaimana hubunganmu dengan Bagas?"

Pertanyaan itu membuatku merasa seperti tersudut dalam lingkaran pertanyaan yang tak terduga. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menjaga ekspresi agar tidak menampakkan rasa canggung atau tidak nyaman yang mungkin melanda.

"Ya, begitulah, Bang. Kami hanya teman," jawabku dengan hati-hati, meskipun jawabanku tampaknya membuat ekspresi Bagas berubah. Dia tampak tak percaya dengan penjelasanku, seolah mencari makna lebih dalam di balik kata-kataku.

Lihat selengkapnya