Chapter VII : Interaksi
Now Playing : Home by Phillip Phillips.
Seperti biasa, sinar mentari yang lembut menyapa pagi ini, dan aku pun bersiap untuk memulai perjalanan ke kampus, menjalani rutinitas yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupku sebagai seorang mahasiswi. Dengan langkah penuh semangat, aku melangkahkan kaki menyusuri jalan yang sudah akrab, menghirup aroma segar yang dihasilkan oleh para penjual kaki lima.
Kak Rumi, sosok yang selalu lebih cepat menyelesaikan segala urusannya, menjadi alasan bagiku untuk mengizinkannya berangkat lebih dahulu. Jika aku memintanya untuk menungguku, rasanya seperti mengikat waktu pada suatu kekangan, karena bisa dipastikan ia akan terburu-buru hingga nyaris terlambat tiba di kampus. Seperti sebuah permainan, kami saling memahami ritme masing-masing.
Namun, hari ini keberuntungan sepertinya berpihak padaku. Dengan langkah yang lebih cepat dari biasanya, aku tiba di kampus sedikit lebih awal, setidaknya hanya semenit sebelum dosen kami memulai perkuliahan. Dalam keheningan sejenak itu, aku merasakan betapa berartinya setiap detik yang berhasil kuperoleh, sementara kesibukan pagi mulai membanjiri ruang kelas kami, menandakan dimulainya materi perkuliahan dengan segala keseriusannya.
***
Hari ini, perkuliahan berlangsung dengan ritme yang tak memberi ruang untuk jeda. Dari pagi hingga sore, ruang kuliah seolah menjadi arena yang tak kenal lelah. Aku melangkah memasuki setiap sesi perkuliahan dengan semangat yang tersisa, meskipun setiap pelajaran terasa seperti aliran deras yang mengikis tenagaku. Seakan, setiap menit di dalam kelas adalah perjuangan melawan arus pengetahuan yang tak bertepi.
Sore hari tiba, dan aku akhirnya melarikan diri dari belenggu ruang kuliah, melangkah keluar untuk merasakan sentuhan lembut udara segar yang seolah mengundangku untuk beristirahat sejenak. Udara luar yang dingin ini menjadi pelipur lara, menyegarkan kembali energi yang telah terkuras habis oleh interaksi dengan materi pelajaran yang begitu menantang.
Aku menyadari, dengan latar belakang pendidikan yang sangat berbeda dari jurusan yang kini kuambil, proses adaptasi ini bukanlah hal yang mudah. Seakan aku berada di tengah belantara yang sama sekali asing, berjuang untuk memahami setiap arahan yang diberikan oleh dosen. Terlebih lagi, sebagai mahasiswa baru, aku seringkali menjadi sasaran empuk bagi para dosen yang berstatus profesor. Mereka membahas materi dengan ketelitian yang mendalam, seolah menghaluskan cabai dalam pengolahan bumbu masakan—menggilingku dengan harapan agar aku siap menyerap semua rasa dan esensi yang terkandung dalam setiap pelajaran.
Namun, meskipun terkadang tertekan oleh tuntutan akademik yang tinggi, aku tetap berusaha untuk memberikan yang terbaik. Aku berjuang untuk memahami setiap materi, menggali setiap penjelasan, dan menyelami kedalaman ilmu yang ditawarkan. Dengan segala usaha dan doa, aku berharap bisa menemukan ritme dalam ketidakseimbangan ini, dan akhirnya menari mengikuti irama perkuliahan yang menuntut segala perhatian dan dedikasi.
Dengan niat bulat, aku memutuskan untuk mengunjungi ruang kelas Luna, sahabatku yang menempuh jalur akademis yang berbeda dariku. Gedung tempatnya berkuliah terpisah jauh dari tempatku, seakan mengharuskan aku menapaki perjalanan yang penuh harapan untuk menemukan kembali sosoknya. Setelah sekian lama terpisah oleh kesibukan masing-masing sebagai mahasiswa baru, hari ini adalah kesempatan pertama kami untuk bertemu di antara kesibukan yang melanda.
Setelah menavigasi lorong-lorong kampus, perlahan aku mendekati pintu kaca yang menjadi batas antara dunia luar dan dalam kelas prodi Luna. Ketika kudorong pintu itu, suara gemerisik kaca mengisi ruang, dan aku mulai mengintip ke dalam, mencari sosok yang kukenali. Tubuhku masih setengah berada di luar, hanya kepalaku yang menyelinap ke dalam, seolah ingin memastikan kehadiranku diterima dengan hangat.
“Permisi. Apakah Luna ada di sini?” suaraku memecah keheningan yang menyelimuti kelas itu. Di dalamnya, beberapa mahasiswa tampak terfokus pada laptop mereka, terbenam dalam dunia akademis masing-masing. Seketika, sorotan mata beralih kepadaku, menciptakan rasa canggung yang mengalir dalam suasana. Namun, di antara wajah-wajah asing itu, mataku segera menemukan Luna, dan senyuman tulus menghiasi wajahku saat melihatnya.