Chapter IX : Rindu
Now Playing : The A Team by Ed Sheeran.
Kelopak mataku perlahan membuka, dan seketika pandanganku tertumbuk pada langit-langit kamar yang terasa asing di pagi yang hening ini. Tubuhku masih terbaring, terlilit lelah yang menumpuk, namun tangan kananku terangkat perlahan, memegangi kepala yang kini berdentum dengan nyeri. Ah, rasa sakit ini—seperti gemuruh badai yang tak kunjung reda, hasil dari begadang semalaman yang tak tentu arah. Kepalaku berdenyut seperti kenangan-kenangan kabur yang datang dan pergi, menghantam tanpa ampun.
Jarum jam telah berputar ke angka sembilan pagi. Sial, lagi-lagi aku bangun kesiangan. Namun, tak ada penyesalan yang benar-benar menyusup. Untung saja, jadwal perkuliahan hari ini bersahabat, memberi jeda hingga siang menjelang. Dengan napas lega, aku bersyukur pada pilihan semalam, ketika kuputuskan untuk tetap terjaga hingga larut, tenggelam dalam lautan virtual yang tak bertepi. Berjam-jam kuhabiskan menelusuri layar ponsel, berpindah dari satu aplikasi ke aplikasi lain, sekadar menghibur diri dari keheningan malam yang membebani. Sungguh, tidak ada tujuan yang jelas—hanya pelarian kecil dari kelelahan yang tak bisa kujelaskan. Dunia maya menjadi pelabuhan, tempatku berlabuh untuk melupakan sejenak beratnya dunia nyata. Dan kini, setelah malam yang tak memberiku apa-apa selain kantuk yang tertunda, aku masih bertanya-tanya—untuk apa semua ini?
Aku perlahan mengangkat tubuhku, duduk di tepi kasur yang terasa dingin di bawah kakiku. Langit-langit kamar masih bisu, dan kesunyian itu seperti menyatu dengan tubuhku yang malas bergerak. Kubiarkan kepalaku menggeleng pelan ke kanan dan kiri, meregangkan otot-otot leher yang terasa kaku setelah terhimpit oleh mimpi-mimpi samar yang tak kutemukan ujungnya. Deru napasku perlahan menghangatkan pagi yang dingin ini, meski rasa kantuk masih berkerumun di sudut mataku, enggan pergi.
Di antara detik-detik hening, hanya satu hal yang tiba-tiba melintas di benakku—ponsel kecil berwarna pink yang selalu menemani. Ah, di mana dia sekarang? Seperti sebuah teka-teki kecil di pagi yang masih sepi. Ponsel itu selalu menjadi penghubungku dengan dunia luar, sumber dari kebisingan yang tak pernah berakhir, namun juga tempat di mana aku mencari kedamaian di tengah hiruk-pikuk perasaan. Kemana dia pergi kali ini? Kucoba mengingat, memutar kembali kejadian semalam, ketika tangan lelahku meletakkannya entah di mana.
Di sela tarikan napas, pikiranku mulai bertanya-tanya, seolah-olah ponsel itu adalah bagian dari diriku yang hilang di tengah lautan ketidakpastian. Mungkin tergeletak di antara lipatan selimut, atau terselip di bawah bantal yang tadi malam kucari kehangatannya. Tanganku mengembara, menyusuri setiap sudut dengan hati-hati—di bawah bantal, di balik selimut yang hangat, hingga ke lantai yang dingin di bawah kakiku. Seperti detektif yang mencari petunjuk, aku tahu ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat.
Dan akhirnya, di sana, tergeletak di lantai dengan angkuhnya, ponselku yang sering jatuh namun tetap setia bertahan. Aku menghela napas panjang, menatapnya sejenak dengan perasaan bercampur. Tanganku perlahan terulur, seperti mengangkat sebuah kenangan lama yang penuh goresan namun belum hancur. Entah sudah berapa kali ia jatuh, namun tetap kokoh.
Tanganku perlahan bergerak, seolah dipandu oleh rasa ingin tahu yang tak tertahankan. Jemariku menekan tombol power, dan layar ponsel pun menyala, memancarkan cahaya samar di ruangan yang masih diselimuti sisa-sisa kantuk. Dengan gerakan lembut, kugulir layar, mencari jawaban atas kecemasan yang menggantung di benakku sedari tadi—apakah ada perubahan jadwal? Apakah ada kabar yang akan mengubah rencana hari ini?
Di layar, grup kelas tampak sunyi, tak ada tanda-tanda kegaduhan atau pemberitahuan mendadak. Namun, satu file PDF yang dikirim oleh staf prodi menarik perhatianku, seperti sebuah teka-teki yang menunggu untuk dipecahkan. Rasa penasaran berdesir di dadaku, dan tanpa ragu aku mengetuk ikon file itu, berharap menemukan sesuatu yang akan mengubah ritme hariku. Kegelisahan bercampur dengan rasa ingin tahu, seakan setiap detik menahan napasku, menunggu apa yang tersembunyi di balik layar itu terbuka, membawa kabar baik atau mungkin kejutan yang belum siap kuterima.
Keputusan dari rektorat datang bagai angin sejuk yang berhembus di tengah teriknya hari, menyapu kekhawatiranku. Sebuah pengumuman yang menyatakan bahwa mahasiswa dari luar Jabodetabek diperbolehkan menjalani perkuliahan secara daring. Ini berarti aku, yang tinggal jauh di luar hiruk pikuk ibukota, diberi kesempatan untuk pulang. Astaga, kabar ini sungguh bagaikan embun di padang tandus, menyejukkan hatiku yang telah lama merindukan kampung halaman.
Bulan-bulan di sini terasa begitu panjang, seakan waktu enggan berlari cepat. Hampir sebulan penuh aku terjebak di tengah kota yang tak pernah tidur, sejak tahapan seleksi beasiswa magister yang mengharuskanku hadir secara fisik. Kini, kesempatan untuk pulang terbuka lebar, memanggilku kembali ke tanah yang kutinggalkan—tempat di mana langit biru menyapa lebih lembut dan suara ombak mengalun pelan di telinga. Ah, betapa rindunya aku akan suasana kampung halaman, tempat di mana waktu bergerak lebih lambat dan semua yang kulakukan terasa lebih bermakna. Kini, segalanya terasa mungkin, dan hatiku melompat-lompat penuh kegembiraan, membayangkan hari di mana kakiku akan kembali menapaki tanah kelahiranku.
Setelah menimbang segala hal dengan hati-hati, aku akhirnya memutuskan, bahwa waktunya telah tiba untuk menyampaikan kabar ini kepada keluargaku. Kabar yang mengendap dalam pikiran, penuh dengan pertimbangan dan harapan tersembunyi. Dalam benakku, terlintas bayangan akan lebih baiknya jika aku kembali ke Medan. Ada banyak alasan yang membuat keputusan ini terasa bijak; tak hanya untuk meredakan rindu yang tak berkesudahan, tetapi juga untuk menyisihkan uang saku yang kudapatkan setiap bulan. Dengan tinggal di rumah, aku bisa menyimpan lebih banyak dan menambah tabungan masa depan.