Serendipity's Paradox

nandini s
Chapter #11

Janji

Chapter X : Janji

Now Playing : Perfect by Ed Sheeran.

Berita mengenai keputusan untuk melaksanakan kuliah secara daring menyebar bak riak gelombang yang menyentuh setiap sudut ruang lingkup pertemananku. Dengan cepat, kabar ini menyebar dalam lingkaran kecil kami, yang meskipun tidak begitu luas, dipenuhi oleh sosok-sosok yang dekat dan berarti. Luna, Kak Rumi, Kak Zara, Kak Lala, Bagas, dan beberapa wajah familiar lainnya yang dulu bersama dalam barisan diksar bela negara, semuanya menerima berita ini dengan antusias.

Aku lah yang pertama kali mengungkapkan berita ini kepada mereka, terutama kepada Kak Rumi, yang selalu menjadi sosok penuh perhatian dalam kelompok kami. Dalam sebuah pesan singkat, aku memberitahukan bahwa aku akan segera pulang ke kampung halaman karena perkuliahan akan dilaksanakan secara online. Reaksi Kak Rumi datang dalam balasan yang penuh kegembiraan dan sedikit penyesalan.

Kak Rumi memberi tahu bahwa ia juga merencanakan untuk kembali, namun tidak dalam waktu dekat. Ia berencana untuk pulang bulan depan, di bulan Oktober yang mendatang. Alasan di balik keputusan ini adalah keinginannya untuk memanfaatkan sisa waktu di kosan yang telah dibayarnya, sebuah tempat tinggal yang telah menjadi saksi bisu banyak cerita dan momen. Ia ingin memastikan bahwa setiap sudut kosan tersebut, setiap inci ruang yang sudah dibayar dengan biaya yang tidak sedikit, mendapatkan penghormatan yang layak sebelum ia melangkah pulang.

"Jadi, kapan adik kembali ke sini lagi?" tanya Kak Rumi, suaranya menyapu lembut di tengah perbincangan panjang yang baru saja kusampaikan.

Saat ini kami masih berada di kampus, tempat di mana perkuliahan baru saja berakhir. Kami berdiri di penataran kampus, menghirup udara segar yang mengalir lembut. Langit di atas kami terbentang luas, tak tampak ujungnya, mulai menampilkan warna jingga lembut yang menandakan bahwa magrib segera menjelang. Kami berniat untuk kembali ke dalam kelas sejenak, mengambil tas kami, sebelum melangkah pulang.

"Nadia rencananya balik tahun depan, Kak. Saat semester dua," jawabku sambil memperhatikan jalanan di depan kami. Jalanan itu tampak baru diperbaiki, berbeda dari yang kulihat ketika kami pertama kali datang ke sini. Anehnya, aku tak melihat satupun pekerja yang tampaknya sedang mengerjakan perbaikan tersebut beberapa waktu terakhir. Kapan mereka melakukan semua ini?

"Kakak juga sih," jawab Kak Rumi, kalimatnya menyentuh pikiranku, membuatku sejenak melupakan jalanan yang tengah kupikirkan. Aku menoleh ke arahnya, melihat senyumnya yang penuh kehangatan.

"Wah, bagus dong, Kak. Kalau begitu, kita samaan," sahutku dengan penuh antusias, saat kami tiba di ambang pintu kelas.

Kelas kami masih dipenuhi oleh beberapa teman, dan di antara mereka, aku merasa agak canggung. Hanya ada beberapa perempuan yang cukup berani untuk kuajak bergaul dalam cengkerama sosial, sementara jika berkaitan dengan lelaki, aku lebih memilih untuk menarik diri dan menjaga jarak.

Setelah mengambil tas dari meja, keheningan di ruang kelas yang hening ini tiba-tiba pecah oleh suara Kak Rumi. Suaranya melayang lembut di udara, seakan memecah kedamaian yang mengisi ruangan. Semua mata, termasuk mataku yang sudah melangkah lebih dulu, menoleh ke arahnya dengan penuh perhatian.

"Semuanya, kita duluan, ya," ucap Kak Rumi dengan nada lembut namun tegas, memberikan isyarat perpisahan sebelum kami benar-benar meninggalkan ruang kelas. 

Secara refleks, aku menghentikan langkahku, dan dalam momen itu, ketika seluruh pasang mata tertuju pada kami berdua, aku merendahkan kepalaku dengan penuh sopan santun. Senyuman tipis tersungging di bibirku, seolah melawan gemuruh rasa canggung yang tiba-tiba menyergap. Keberadaan kami di tengah tatapan penasaran itu menciptakan keheningan yang hangat, seperti embun pagi yang menetes perlahan di tengah heningnya suasana.

Lihat selengkapnya