Chapter XI : Kembali
Now Playing : Youth by Daughter.
Saat pintu depan kosanku terbuka, pandanganku tertumbuk pada sosok Bagas yang duduk gagah di atas motor hitamnya. Udara pagi yang masih sejuk seolah ikut mendekap kami dalam hening yang penuh makna. Ia menungguku dengan kesabaran yang tenang, meski aku telah melangkah dengan kecepatan yang hampir melampaui waktu. Sorot matanya yang teduh seolah mengisyaratkan kesiapan untuk sebuah perjalanan, petualangan yang telah kami rencanakan.
Pukul enam pagi kami berangkat, diselimuti kabut tipis yang perlahan mulai hilang oleh sinar mentari yang merambat ke langit. Tujuan pertama kami adalah Monas, di mana kami akan bergabung dengan riuh tawa dan gerak senam yang menyegarkan. Rasanya sudah begitu lama aku tak merasakan gerak tubuhku mengikuti irama musik senam, padahal di Medan dulu, aku adalah seorang instruktur senam yang selalu memimpin dengan penuh semangat. Kini, dengan gemuruh rindu pada gerakan-gerakan yang pernah begitu akrab, aku berharap hari ini bisa membangkitkan kembali kenangan-kenangan manis itu.
"Ayo, kita berangkat," seruku penuh semangat, sambil menepuk pelan pundak Bagas. Aku sudah duduk manis di belakangnya, merasakan dinginnya pagi yang merambat perlahan di kulit. Udara pagi yang segar membangkitkan perasaan ringan, seolah dunia tak memiliki beban.
Tanpa diduga, gerakanku yang tiba-tiba melompat ke atas motor membuat Bagas sempat oleng, kehilangan keseimbangan. Namun, ia dengan cekatan menguasai situasi. Kedua tangannya yang kekar menggenggam stang motor dengan mantap, mengembalikan kestabilan dalam sekejap. Aku tersenyum kecil di belakangnya, merasakan kepastian dari kekuatannya yang tak tergoyahkan.
"Mari kita berangkat," jawab Bagas akhirnya, diiringi dengan suara halus mesin motor yang menderu. Tarikan gasnya mengisi keheningan pagi, membawa kami menembus udara yang dingin. Syukurlah, Bagas membawa dua helm. Kami pun melaju tanpa kekhawatiran akan ditilang oleh petugas. Tapi, soal ditilang atau tidak, itu urusan nanti. Yang terpenting saat ini adalah kebebasan di jalan terbuka, perasaan siap untuk menghadapi apa pun yang menunggu di depan. Setiap tarikan napas pagi ini terasa seperti janji dari dunia, bahwa petualangan hari ini akan menjadi kenangan yang tak terlupakan.
***
Sepanjang perjalanan menuju Monas, mataku disuguhi panorama lautan manusia yang sibuk menggerakkan tubuh mereka, seolah setiap langkah adalah upaya merangkul kehidupan. Di sepanjang jalan raya, aku melihat orang-orang berlari dengan ritme yang teratur, napas mereka seirama dengan detak jantung bumi. Beberapa lainnya mengayuh sepeda dengan penuh semangat, ban sepeda mereka bergulung menyusuri aspal yang masih sedikit basah oleh embun pagi. Ada pula yang meluncur mulus dengan sepatu roda, melintasi udara yang masih dingin, sementara beberapa pemuda tampak lincah bermain skateboard, memecah keheningan pagi dengan suara roda yang menghantam permukaan jalan.
Pemandangan ini sempat membuatku termenung dalam kekaguman. Siapa sangka, begitu banyak manusia yang memilih untuk berinvestasi pada kesehatan mereka, menukar kenyamanan kasur dengan segarnya udara pagi dan keringat yang menetes. Langkah-langkah mereka bukan hanya sekadar gerakan, melainkan simbol dedikasi, seakan tubuh mereka adalah kuil yang harus dirawat dengan penuh cinta. Aku pun terhanyut dalam renungan, betapa pentingnya menjaga tubuh dan jiwa ini agar tetap kuat menghadapi derasnya arus kehidupan.
Tak berapa lama, kami akhirnya tiba di tempat tujuan. Namun, pemandangan di depan kami membuatku tertegun. Parkiran sudah penuh sesak dengan kendaraan yang berjajar rapi, seolah setiap sudut ruang telah diperebutkan sejak fajar belum sepenuhnya menyingsing. Aku terdiam sejenak, merenungkan waktu yang terasa berlalu begitu cepat. Apakah jam delapan pagi sudah dianggap terlambat untuk memulai olahraga di sini? Seolah waktu yang aku kira masih pagi, ternyata telah melaju lebih dulu dari yang kubayangkan.
Pertanyaan-pertanyaan kecil mulai berputar di benakku. Apakah mereka yang memenuhi tempat ini tak pulang, melainkan bermalam di sini, hanya demi mendapatkan tempat parkir yang strategis? Mungkinkah malam-malam sebelumnya mereka telah berbaring di bawah langit, menanti dengan sabar pagi datang, agar bisa menjadi yang pertama merasakan segarnya udara dan lapangnya jalan di sini?
Entahlah, aku tak tahu pasti jawabannya. Pikiran-pikiranku hanyut dalam keraguan, namun sebuah kelegaan perlahan merayap masuk saat kulihat Bagas berhasil menemukan ruang di antara lautan motor yang berjajar rapi. Dengan cekatan, ia memarkirkan motornya, mengikuti barisan kendaraan yang tampak tertata sempurna di sampingnya. Sebuah napas lega lolos dari bibirku, seperti beban yang sempat menyesakkan perlahan menghilang.
"Untung masih ada tempat kosong, ya," ucapku dengan nada ringan saat melihatnya mendekat. Tatapanku mengikutinya, tubuhnya yang tegap bergerak perlahan ke arahku setelah memastikan motornya terkunci aman.